Resensi

Review Buku The Book of Ikigai – Ken Mogi 

Kelebihan buku ini yaitu kemampuan Ken Mogi dalam menjelaskan etos kerja bangsa Jepang beserta kebudayaannya dipahami secara mudah melalui pelbagai kisah nyata...

Written by Jari Telunjuk · 5 min read >
Judul 		: The Book of Ikigai  
Penulis		: Ken Mogi  
Penerbit	: Penerbit Noura 
Halaman		: 149 

Buku ini merupakan salah satu buku yang resensor selesaikan membacanya kurang dari 24 jam. Ketertarikan resensor berawal dari liputan BBC News yang berjudul; Why dies Japan Work so hard? Saking bekerja kerasnya orang Jepang dijuluki Salaryman. Dengan beberapa klik pada Google Play Book dan membeli buku  ini melalui Go-Pay, maka mulailah resensor membuka lembaran demi lembaran buku Ikigai ini.  

Ken Mogi sendiri adalah seorang ilmuwan otak bergelar P.hd, penulis beberapa buku, dan penyiar yang spesifik membahas berkenaan neurosains. Buku setelah 149 halaman ini terbagi ke dalam 10 bab. Terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Noura pada tahun 2018. Buku ini penting dalam menumbuhkan etos kerja. Sebuah filosofi mencintai pekerjaan, bukan karena alat untuk mendapatkan gaji atau pengakuan, melainkan karena penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Sebelum masuk ke dalam pembahasan bab per bab, penting untuk dipahami mengenai lima pilar Ikagi, yaitu awali dengan hal yang kecil, bebaskan dirimu, keselarasan dan kesinambungan, kegembiraan dari hal-hal kecil, serta hadir di tempat dan waktu yang sekarang. Kelima pilar inilah yang menjadi dasar pencarian ikigai yang tersebar ke dalam 10 bab buku ini dan kehidupan kita sehari-hari. 

Arti Ikigai 

Ikigai berasal dari dua kata, yaitu iki yang berarti “untuk hidup” dan gai yang berarti “alasan”. Sehingga dapat kita terjemahkan secara bebas bahwa ikigai adalah alasan kita untuk hidup, suatu keyakinan eksistensial tentang untuk apa kita hidup di dunia ini. Inilah yang menurut penulis dan penelitian internasional sebut sebagai alasan mengapa usia atau angka harapan hidup orang-orang Jepang begitu tinggi. Yaitu  80 tahun lebih. Bahkan dalam buku Ikigai ini terdapat kisah nyata beberapa kakek-nenek yang berusia 100 tahun lebih namun masih giat bekerja.  

Apa yang membuat orang Jepang berumur panjang? Karena mereka memiliki alasan untuk hidup (ikigai). Dan mereka memperjuangkan ikigai-nya tersebut. Ada yang ikigai-nya agar dapat berkarya pada umat manusia, semisal sutradara terkenal Jepang, Hayao Miyazaki (sutradara film Wind Rises, dan lainnya), atau bahkan sesederhana ingin bermain dengan cicit. Kita semua dapat menemukan ikigai kita dalam hidup kita masing-masing, walaupun itu dimulai dari hal-hal kecil. 

Alasan Anda Bangun Pagi 

Pilar pertama dari Ikigai adalah mulailah dengan hal yang kecil, sekecil bangun pagi. Seseorang yang memiliki Ikigai atau alasan mengapa ia harus memperjuangkan hidup, tentunya akan bangun di pagi hari demi memperjuangkan ikigai-nya tersebut. Sejak berabad-abad lalu, bangsa Jepang digelari dengan sebutan negeri matahari terbit. Mungkin karena etos kerja bangsa Jepang yang mulai bangun di pagi hari saat matahari terbit. Sehingga ada pepatah Jepang yang berbunyi; Hanya burung yang bangun pagi yang mendapatkan cacing terbaik. Dalam pepatah bangsa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai orang yang telat bangun rezekinya dipatok ayam. 

Baca juga : Resensi Buku Jiwa Yang Tenang – Abdul Husein Dasteghib

Apapun ikigai anda, apakah menjadi pemimpin yang mengayomi masyarakat, menjadi pendidik yang mencerdaskan warga, atau membersihkan lingkungan sekitar, mulailah perjuangan ikigai tersebut di pagi hari. Bangun di pagi hari menjadi tidak relevan, kecuali pekerjaan Anda adalah penjaga ketertiban di malam hari. Di luar dari kewajiban pekerjaan malam, bangunlah di pagi hari. Sesederhana itulah dalam menemukan ikigai. Seperti dalam pilar kelima ikigai, kegembiraan dari melakukan hal-hal kecil. 

Kodawari dan Manfaat Berpikir Kecil 

Dengan ikigai etos kerja menjadi meningkat. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip bangsa Jepang yang disebut Kodawari. Kodawari adalah sebutan bagi mereka yang mengejar kesempurnaan demi kepuasaan internal seorang pekerja, dan kepuasan eksternal pelanggan. Kodawari atau pengejar kesempurnaan bukan milik bangsa Jepang saja, kata Ken Mogi. Ia terlihat jelas pada orang-orang seperti Steve Jobs pada mahakarya Apple-nya, Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya, Nolan dengan film-filmnya, hingga Hayao Miyazaki dengan film animasi-animasi terbaiknya. 

Pilar ikigai keempat berbunyi; menghadirkan diri di waktu dan tempat sekarang merupakan pilar yang memperkuat tesis bahwa Ikigai itu fana. Karena ia fana, seseorang harus mempersembahkan diri terbaiknya di waktu dan tempat yang sekarang. Memberikan yang terbaik kini dan di sini. Jangan menunda nya. 

Keindahan Indrawi Ikigai 

Bangsa Jepang menghargai karya, itulah mengapa mereka sangat menghargai pengrajin. Menurutnya, pengrajin adalah bukti empiris keberadaan ikigai dalam bentuk seorang manusia. Pengrajin mengerjakan hal-hal kecil demi sebuah karya yang mengandung keindahan indrawi bagi orang lain, yang pada gilirannya mendatangkan keindahan batin bagi pengrajin itu sendiri, maupun orang lain. Pada karya itu pula terdapat pilar kedua dari ikigai, yaitu membebaskan diri. Dalam karya, seorang pengrajin bagaikan anak-anak yang bermain bola, kemenangan dan hadiah bukan yang utama, melainkan kebebasan diri dan kebahagiaan bersama. 

Aliran dan Kreativitas 

Seorang yang membebaskan diri ketika bekerja, maka ia akan larut atau mengalir (flow) dalam kreativitas nya. Ia bebas dari faktor eksternal uang, pujian, celaan, maupun faktor internal seperti mood, rasa malas, dan sebagainya. Sehingga kita bekerja bukan karena ingin dipuji atau takut dicela, melainkan karena kecintaan kita pada pekerjaan tersebut. Banyak lansia Jepang masih memilih flow dalam pekerjaan, alih-alih pensiun. Hal ini sejalan dengan pilar ketiga Ikigai, yaitu keselarasan dan kesinambungan hidup.  

Baca juga : Resensi Buku Cara Cepat Melatih Kebiasaan Positif Sehari-Hari – Marc Reklau

Di samping itu, bangsa Jepang percaya bahwa setiap hal itu unik dan istimewa, sehingga mereka memperlakukan hal kecil pun dengan penuh perhatian seakan persoalan hidup dan mati. Maka buatlah musik, meskipun tak ada yang mendengar. Lukislah sesuatu, meski tak ada yang melihat. Tulislah catatan yang tak pernah dibaca orang. Karena kepuasan batin (bersyukur pada pekerjaan), lebih penting dari pengakuan atau materi dari orang lain. 

Ikigai dan Kelestarian 

Pilar yang juga cukup penting dari ikigai adalah keselarasan dan kesinambungan. Darinya itu kelestarian dengan masyarakat dan lingkungan sekitar menjadi titik tekan pada ikigai. Jangan sampai ikigai-nya kita mencederai masyarakat dan lingkungan kita. Misalnya ikigai kita adalah menjadi penguasa, tanpa memperhatikan hak-hak lawan politik, aturan hukum, atau bahkan masyarakat. Misalnya pula ikigai-nya kita adalah menjadi pengusaha, tanpa memperhatikan hak-hak mitra kerja, aturan hukum, atau bahkan keberlanjutan lingkungan. Bangsa Jepang dikenal sebagai pekerja yang merasa malu jika digaji tinggi, karena mereka bekerja berdasarkan ikigai demi kelestarian masyarakat dan lingkungan. Meski berskala kecil, Ikigai dengan kelestariannya berpandangan jauh ke depan.

Menemukan Makna Hidup 

Dilihat dari perspektif ikagai, khususnya pilar membebaskan diri dan kebahagian datang dari hal-hal kecil, maka baik pemenang ataupun mereka yang sering mengalami kekalahan tidak lagi memiliki batasan yang hitam-putih. Seseorang yang kalah bukan berarti tidak memiliki ikigai, melainkan mungkin ikigai-nya bukanlah kemenangan di setiap pertandingan, tetapi dapat tetap bertahan dalam arena permainan. Bertahan dalam cibiran dan cap sebagai pecundang adalah ikigai tersendiri. Karena tanpa orang yang kalah, tidak ada yang juara dalam sebuah pertandingan.

Yang Tidak Membunuhmu Akan Menjadikanmu Lebih Kuat 

Slogan di atas datang dari seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitupun dengan ikigai, ketahanan dalam menghadapi rintangan internal dan eksternal merupakan hal yang penting. Dalam ajaran agama hal itu disebut sebagai sabar. Hiroshima dan Nagasaki yang dibom atom pada tahun 1945 telah menjadi kota yang maju sekarang ini. Tidak terlihat tanda-tanda kehancuran di kota tersebut. Inilah daya tahan bangsa Jepang dan kemampuan mereka bangkit dari segala macam rintangan, termasuk seringnya negeri mereka dilanda gempa dan tsunami. 

Ikigai dan Kebahagiaan 

Etos kerja demi kebahagiaan dalam ikigai menghendaki bangsa Jepang untuk melakukan Datsudara, suatu pilihan untuk keluar dari kantor yang mapan namun tidak menggairahkan dan beralih untuk memulai ke pekerjaan atau bisnis yang kecil namun menggairahkan. Seperti kata Steve Jobs, kerjakan yang kau cintai, atau paling tidak cintai pekerjaanmu. Karena tidak ada formula mutlak mengenai kebahagiaan untuk semua orang, dengan kata lain kebahagiaan itu unik untuk masing-masing individu, maka carilah ikigai dalam pekerjaanmu.

Terima Diri Anda Apa Adanya 

Karena setiap orang itu unik, atau hanya identik dengan dirinya sendiri, bahkan saudara kembar sekalipun itu berbeda, maka temukanlah ikigai Anda masing-masing. Terimalah segala hal yang ada dalam diri Anda. Evaluasi dan perbaiki segala kekurangan diri, sembari tetap mengembangkan keunggulan diri. Selebihnya, tetaplah tersenyum dalam mencari dan memperjuangkan ikigai Anda masing-masing, hari ini dan setiap hari.

Perspektif Jaritelunjuk

Setelah membaca buku ini kurang dari sehari-semalam, rasa penasaran resentor mengenai liputan BBC tentang mengapa orang Jepang bekerja begitu keras sehingga dijuluki salaryman akhirnya terjawab. Kelebihan buku ini yaitu kemampuan Ken Mogi dalam menjelaskan etos kerja bangsa Jepang beserta kebudayaannya dipahami secara mudah melalui pelbagai kisah nyata dan kedalaman filosofi para salaryman tersebut. Buku ini membuat kita menghargai pekerjaan, sebagaimana dalam ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk menghargai setiap rezeki, bahwa dapat mencari rezeki yang halal melalui pekerjaan yang halal adalah rezeki itu sendiri yang perlu disyukuri. Adapun kekurangan buku ini adalah tidak disertakannya contoh-contoh yang relevan dengan era disrupsi teknologi. Namun selebihnya, buku ini begitu mencerahkan, begitu menggerakkan.  

Baca juga : Resensi Buku Belajar Cara Belajar – Syarif Rousyan Fikri, Mohammad Ikhsan & Aditya Banuaji

Written by Jari Telunjuk
Tukang jaga di jaritelunjuk Profile

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *