Judul : Tanggung Jawab Para Intelektual
Penulis : Noam Chomsky
Penerbit : Akasia
Penerjemah : Wawan Kurniawan
Halaman : 160
“What are the differences between Mark Zuckerberg and me? I give private information on corporations to you for free, and I’m a villain. Zuckerberg gives your private information to corporations for money and he is Man of the Year.” Julian Assange
Intelektual dalam gerakan mengungkap kebenaran tahu bahwa harga sebuah kebenaran teramat mahal. Julian Assange dan Edward Snowden berakhir menjadi pencari suaka yang kehilangan warga negara karenanya dan puncak dari memperjuangkannya adalah kematian seperti Munir. Mengapa orang-orang seperti itu begitu gigih membela (kemanusiaan) kebenaran? Apakah kekayaan, ketenaran, atau kekuasaan yang menjadi tujuannya? tidak! bukan itu! melainkan ia menyadari bahwa intelektual adalah karunia yang punya tanggung jawab. Tanggung jawab seperti apa yang membuat orang rela menerima segala resiko hanya untuk mengungkap sebuah kebenaran? Noam Chomsky dalam bukunya “The Responsibility of Intelectuals” yang merupakan esai panjang yang terbit tahun 1967 dan telah dialihbahasakan oleh Penerbit Akasia tahun 2021 ini akan menjawab itu.
The Responsibility of Intelectuall sebagaimana bukunya The Spectacular Achievments of Propaganda adalah karya Noam Chomsky yang berisi kritik terhadap kebijakan pemerintahan Amerika Serikat yang pro perang dan sekaligus autokritik untuk kalangan para intelektual yang memilih mengaminkan kebijakan-kebijakan itu. Buku yang ditulis oleh intelektual ini menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya intelektual bekerja.
Baca juga : Resensi Buku Ideologi Kaum Intelektual – Ali Syariati
Intelektual menurut Noam Chomsky terbagi atas dua: Intelektual yang menjaga integritas apapun konsekuensinya kendati (jika menjadi bagian pemerintah) dianggap sebagai pembelot dan yang kedua intelektual yang berkompromi dengan kekuasaan dan melepaskan tanggung jawab moralnya sebagai intelektual. Bagi intelektual modern, bagian kedua menjadi pilihan paling ideal, padahal hal itu membuat dirinya tidak pantas disebut intelektual. Intelektual merupakan predikat yang disematkan kepada mereka yang bukan sekadar memiliki gelar akademik, tetapi memiliki keberpihakan kepada kebenaran dan berani mengungkapkannya. Bukan menjadi pengikut setia pemerintahan yang mendukung kebijakan-kebijakannya keliru. Bermain aman bukanlah sikap intelektual yang punya integritas. Intelektual yang membeo pada kekuasaan yang menindas tidak ditempatkan dalam kategori intelektual yang sebenarnya. Ironisnya karena mereka yang berkompromi terhadap kejahatan-kejahatan negara dengan menggunakan kecakapan intelektualnya untuk membenarkan yang salah justru menjadi intelektual yang disukai oleh masyarakat awam. Mereka para intelektual semacam itu tahu betul memperdaya publik dengan propaganda. Sementara mereka yang mengambil jarak pada kekuasaan dan menyampaikan kritikan untuk menjaga nilai-nilai universal malah menjadi kelompok yang mendapatkan hukuman dalam berbagai bentuk: teralienasi dari rakyat yang dibelanya dan hidup dalam bayang-bayang kematian.
Dalam pandangan Noam Chomsky intelektual adalah golongan yang punya hak-hak istimewa (privilege) karena memiliki kemampuan untuk mengubah norma yang ada. Jadi ketetapan umum, kebijakan, dan aturan yang telah dibuat negara masih dapat digugat dengan kekuatan intelektual. Di samping itu, sebagaimana diterangkan Edward Said dalam “Peran Intelektual” bahwa intelektual dikaruniai bakat mempresentasikan, mengekspresikan, serta mengartikulasi pesan, pandangan sikap dan filosofi kepada publik sehingga mampu membangkitkan daya kritis orang lain. Artinya, kekuatan intelektual juga adalah memegang kendali suara massa. Dari keistimewaan itu ada kekuatan besar dan dari kekuatan besar itulah sehingga ada tanggung jawab. Di pundaknya ketidaktahuan publik disematkan. Ia bagai corong pembawa kebenaran. Ketika dia redup, maka matilah kebenaran itu. Orang -orang biasa akan kehilangan arah.
Baca juga : Resensi Buku Stop Membaca Berita – Rolf Dobelli
Tanggung jawab intelektual adalah berani menyuarakan kebenaran dan mengungkapkan kebohongan. Salah satu caranya adalah dengan melihat peristiwa dengan perspektif historis. Karena tragedi dan peristiwa sejarah merupakan guru terbaik untuk menciptakan kehidupan humanis di masa depan. Itulah mengapa Soekarno berucap “jangan melupakan sejarah” sebab dia tahu betapa pentingnya sejarah. Jika sejarah adalah jalan maka dengan mempelajarinya kita bisa terhindar dari kubangan yang dapat membuat kita terperosok. Meski intelektual oportunis yang tidak bertanggung jawab menjadikan sejarah sebagai alat untuk melanggengkan kebencian (tragedi 65) dan memainkan politik identitas demi kepentingannya.
Intelektual memiliki peranan besar dalam berlangsungnya kehidupan bernegara. Mengapa Chomsky begitu menentang intelektual yang pro pemerintah karena pemerintahan memiliki kecenderungan untuk menang (berkuasa dengan sewenang-wenangan) dan intelektual yang mengabdi kepadanya bertanggung jawab atas kemenangan itu. Banyak orang yang tidak sepakat dengan pernyataan Chomsky ini dan ini bukan hal yang baru. Di tahun 1898 ada yang dikenal dengan “Manifesto Intellectual” yang ditulis aktivis Dreyfusard untuk menegaskan bahwa intelektual itu pembela keadilan dengan mengkritik otoritas negara, dipertentangkan dengan kelompok intelektual lain yang disebut The Immortal dari Acadamie Francaise anti-Dreyfusard yang menganggab defenisi intelektual dalam manifesto itu adalah kekonyolan paling aneh. Dreyfusard bahkan dijuluki anarkis di panggung akademisi yang selalu menganggap intelektual adalah “manusia super” yang selalu melihat militer sebagai golongan idiot, institusi sosial jadi tidak masuk akal, dan tradisi yang ketinggalan dan tidak relevan dengan zaman. Golongan Intelektual The Immortal ini lebih sependapat dengan “The Manifesto of 93 German Intellectual” yang mengajak dunia barat untuk ikut dalam perang sebagai bangsa beradab yang mewarisi kesucian Goethe, Beethoven, Kant, sebagaimana kesucian tanah dan rumah sendiri atas nama moral. Lalu mereka intelektual yang berseberangan yang menolak perang atas nama demokrasi dan HAM seperti, Russel, Luxembourg, dll. menjadi intelektual yang mendapatkan hukuman.
Baca juga : Resensi Buku Matinya Demokrasi dan Kuasa Teknologi – Jamie Bartlett
Dalam pandangan mereka jika ada intelektual yang mengkritisi otoritas langsung dituduh anarkis meskipun dengan ekspresi yang mewajarkan dan melakukan ad homimen pada intelektual pengkritik, seperti “wajar kalau tukang kritik, anarkis kan tidak menghendaki kehadiran negara” Chomsky sebagai professor anarkis tradisional lebih memilih untuk percaya pada intelektual yang berani berkata benar untuk kebohongan-kebohongan pemerintah. Buku yang ditulisnya kendatipun dalam konteks kritik terhadap pemerintah Amerika Serikat yang sembunyi dibalik jargon-jargon demokrasi dan HAM yang justru berlaku sebaliknya dalam sejarah perang modern masih menjadi satu diskursus yang relevan untuk memperhadapkan kita pada dua pilihan, perihal akan berdiri pada barisan intelektual yang mana kita: intelektual yang berani mengungkapkan kebenaran, tapi termarginalkan ataukah intelektual yang mengikuti segala propaganda pemerintah dan melepaskan tanggung jawab moralnya?
One Reply to “Review Buku Tanggung Jawab Para Intelektual – Noam Chomsky”