Judul : Politik Pendidikan
Penulis : Paulo Freire
Penerbit : Pustaka Pelajar
Halaman : 351
Paulo Freire adalah seorang intelektual pendidikan par excellence berkebangsaan Brazil. Tidak sedikit buku-bukunya menjadi rujukan ihwal pendidikan seantero dunia. Dalam buku Politik Pendidikan yang mengambil subjudul kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan ini, Freire menuliskan gagasan-gagasannya yang tersebar ke dalam 14 bab. Buku terjemahan Indonesianya pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada tahun 1999 dengan ketebalan 351 halaman.
Perilaku Belajar
Pembaca, menurut Freire, harus mengetahui peran dirinya. Karena pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Kapan saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami. Dengan pustaka atau bacaan-bacaan yang kita alami, diharapkan terjadi dialektika antara pembaca dan penulis demi pengalaman pembaca dan perilaku belajar yang menyadarkan. Sehingga pada akhirnya, perilaku belajar menghadirkan rasa rendah hati.
Sebuah Pandangan Kritis dalam Pemberantasan Buta Huruf
Buta huruf bukanlah racun yang harus diberantas. Buta huruf individu merupakan permasalahan individu, sementara buta huruf masyarakat merupakan permasalahan sosial. Dan tanggungjawab terbesar berada pada pihak pemerintahan. Terlebih di konstitusi kita dicantumkan salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca juga : Resensi Buku 30 Tips Baca – Adi Wahyu Adji
Memberantas buta huruf bukan sekadar menyetorkan teks kepada masyarakat, melainkan menyadarkan konteks sosial yang dialaminya sehari-hari. Dan itulah indikator dari pemberantasan buta huruf yang transformatif.
Petani Sebagai Penulis Buku
Petani dalam kasus Indonesia bisa juga berarti nelayan, ditinjau dari urgensi pekerjaan tersebut bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dalam pendidikan petani, ekspresi diri menjadi tujuan pendidikannya. Berbeda dengan pendidikan bank, di mana penyetoran yang menjadi tujuan pendidikannya. Guru adalah petani yang bertugas menggarap siswa-siswa agar bisa panen dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Sementara dalam pendidikan bank, guru adalah seorang nasabah yang bertugas memberikan tabungan kata-kata kepada siswa.
Secara hakiki, kita lebih butuh padi ketimbang tumpukan uang kertas yang tertera di rekening. Dan secara harfiah, kita membutuhkan pendidikan kritis yang menjadikan petani paham konteks kehidupan mereka yang sebenarnya.
Aksi Budaya dan Reformasi Agraria
Dengan adanya pendidikan petani, maka aksi budaya pun semakin menyadarkan masyarakat, masyarakat petani pada khususnya. Sehingga, gagasan reformasi agraria pun semakin penting untuk segera digalakkan. Reformasi agraria itu penting mengingat berkenaan dengan hajat hidup orang banyak dan keadilan sosial. Dan kelas sosial yang paling berkepentingan berkenaan dengan gagasan tersebut adalah masyarakat petani. Maka, pendidikan petani, aksi budaya, dan reformasi agraria menjadi saling berkaitan.
Peran Pekerja Sosial dalam Proses Perubahan
Pekerja sosial adalah mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Petani dan nelayan merupakan salah satunya. Namun pekerja sosial yang paling mendasar adalah guru. Karena guru bukan hanya berperan pada hajat hidup orang banyak pada satu generasi dan satu daerah, melainkan berdampak pada bangsa dan menjadi warisan dari generasi ke generasi. Adapun peran pekerja sosial dalam proses perubahan adalah dengan tidak pro status quo jika pemerintah tidak pro kepada rakyat, dan berkolaborasi dengan pemerintah jika kinerjanya pro terhadap rakyat.
Pemberantasan Buta Huruf Sebagai Aksi Budaya Menuju Kebebasan.
Mestinya, praktik pendidikan mengimplikasikan konsep tentang manusia dan dunia. Dengan begitu, anggapan bahwa seseorang yang buta huruf adalah manusia kosong menjadi tidak relevan lagi. Karena teks hanyalah salah satu medium dalam memperoleh pengetahuan, di samping pengetahuan yang kita peroleh dari kesadaran terhadap konteks sosial. Miskonsepsi lainnya adalah anggapan bahwa seseorang yang buta huruf adalah orang marginal, yang dekat kepada kriminalitas, kemiskinan, dan kebodohan-kebodohan lainnya.
Sejatinya, pembelajaran adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan, bukan sekadar untuk memperoleh ijazah, pekerjaan, atau hal-hal material lainnya. Jadi, metodologi belajar lebih kepada dialog, bukan sekadar penaburan kata-kata kepada khayalak siswa. Freire juga merekomendasikan pentingnya para siswa untuk menulis, baik buku sendiri, maupun buku bersama, sehingga mereka saling memahami konteks sosial dan pengetahuan mereka masing-masing.
Aksi Budaya dan Konsientisasi
Kondisi historis dan tingkatan kesadaran masyarakat sangatlah beragama. Ada masyarakat yang bisu, ada pula masyarakat yang semi tertutup, dan ada masyarakat yang terbuka dan kritis. Untuk yang disebutkan terakhir, Freire menyebutnya sebagai masyarakat dengan kesadaran penuh atau kesadaran naif. Terciptanya kesadaran kritis kelompok-kelompok
progresif tentu akan direspon negatif oleh elite politik. Namun, aksi tersebut harus terus dikembangkan dalam bingkai revolusi budaya. Peran lanjut konsientisasi atau penyadaran tersebut bertujuan untuk menciptakan pembebasan.
Pemberantasan Buta Huruf Politik
Proses mengetahui masyarakat berperan penting dalam upaya pemberantasan buta huruf politik. Karena model pendidikan dapat saja membelenggu, dan dapat pula membebaskan. Pendidikan melek politik diperlukan, sebab buta huruf politik lebih membelenggu ketimbang buta huruf aksara. Buta huruf politik membuat masyarakat tidak paham terhadap konteks sosialnya. Padahal harga sayur hingga BBM ditentukan oleh proses politik. Semnetara buta huruf aksara hanyalah ketidaktahuan menangkap teks.
Baca juga : Review Buku Tanggung Jawab Para Intelektual – Noam Chomsky
Ada yang melek aksara tapi bisa saja buta politik. Sementara tidak semua yang buta huruf aksara, juga buta huruf politik. Walaupun yang terparah adalah buta akan kesemuanya, dan yang terbaik adalah sadar atau melek akan keduanya. Freire menyatakan adanya proses konsientisasi, yaitu proses di mana manusia berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan.
Pendidikan yang Humanis
Terdapat pelbagai macam model pendidikan, menurut Freire, mulai dari pendidikan yang humanis hingga kepada pendidikan yang membawa serta dehumanisasi. Karena kekuasan cenderung korup, kata Lord Acton, maka saran Freire pendidikan harus memproduksi kekritisan peserta didik agar elite politik terus waspada. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, didiklah masyarakat dengan organisasi dan didiklah pemerintah dengan kritik.
Baca juga : Resensi Buku Belajar Cara Belajar – Syarif Rousyan Fikri, Mohammad Ikhsan & Aditya Banuaji
Pendidikan, Pembebasan, dan Gereja Konsientisasi atau penyadaran, lagi-lagi menjadi inti gagasan dari Freire. Pendidikan untuk kebebasan jangan sekadar kata-kata, melainkan suatu aksi nyata. Begitupun dengan institusi gereja yang merupakan perwakilan resmi agama Katolik, suatu agama mayoritas di Brazil. Teologi harus membebaskan, bukannya justru membelenggu umatnya. Gereja tidak boleh netral, apalagi memihak kepada elite politik. Sebaliknya, elite politik harus berpihak kepada mereka yang tertindas. Modernisasi gereja menjadi mutlak perlu demi progresivitas umat dan gereja itu sendiri. Freire memaparkan perlunya gereja profetik demi mengembalikan gereja kepada misi-misi kenabian.
Penutup
Freire menutup karyanya ini masing-masing dengan membahas Teologi Pembebasan James Cone, gagasan Freire tentang perlu konsientisasi tanpa sekolah, hingga dialog-dialog Freire yang terpampang jelas pada bab 12 dan bab 14. Inti gagasan pendidikan Freire adalah
menciptakan pendidikan yang membebaskan, menyadarkan, melek politik, dan kritiknya terhadap banking education atau pendidikan yang hanya menyetor kata-kata kepada siswa.
One Reply to “Review Buku Politik Pendidikan – Paulo Freire”