Resensi

Review Buku Peran Intelektual –  Edward Said 

Buku ini ditulis oleh Edward Said, profesor Bahasa di Amerika yang berkebangsaan Palestina-Mesir. Buku ini merupakan kumpulan kuliah-kuliah Edward Said yang ia...

Written by Jari Telunjuk · 3 min read >
Judul 		: Peran Intelektual  
Penulis		: Edward Said
Penerbit	: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Halaman		: 21

Buku ini ditulis oleh Edward Said, profesor Bahasa di Amerika yang berkebangsaan Palestina-Mesir. Buku ini merupakan kumpulan kuliah-kuliah Edward Said yang ia sampaikan di Reith Lectures, Amerika pada tahun 1993. Edisi Bahasa Indonesia pertama kali dicetak pada tahun 1998, suatu masa ketika peran intelektual teramat dibutuhkan dalam menumbangkan rezim Orde Baru dan menata reformasi di Indonesia.

Peran Intelektual

Dalam kuliah-kuliah yang dibawakan Edward Said, ia menyebutkan bahwa peran publik intelektual sebagai orang luar, “amatir”, dan pengusik status quo.  Satu tugas dari intelektual adalah upaya menembus kategori stretif dan reduktif yang membatasi pikiran dan komunikasi manusia.

Apakah jumlah kaum intelektual itu banyak? Atau malah sedikit, dikarenakan mereka adalah manusia-manusia terpilih? Antonio Gramsci mengatakan bahwa “orang dapat menyebut bahwa semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. 

Gramsci kemudian membagi tipologi intelektual ke dalam dua tipe. Pertama, intelektual tradisional seperti Guru, Ulama, dan para administrator yang terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Sementara yang kedua adalah intelektual organik, yaitu kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organik adalah kaum profesional yang selalu aktif bergerak dan mengubah masyarakat langsung ke dalam jantung aktivitas masyarakat tersebut.

Baca juga : Review Buku Tanggung Jawab Para Intelektual – Noam Chomsky

Sementara itu, Julien Benda menuliskan bahwa intelektual adalah segelintir manusia yang sangat berbakat dan diberkahi moral filsuf-raja. Benda sering menyebut Socrates, Yesus, Spinoza, Voltaire, hingga Ernest Renan sebagai seorang intelektual yang bertugas mencipta tatanan dalam masyarakat. Mereka makhluk langka, karena yang mereka junjung adalah standar kebenaran dan keadilan abadi, sesuatu yang niscaya tidak ditemukan dalam dunia yang fana ini. Secara sederhana katakanlah, “Kerajaanku bukanlah di dunia ini.” Lagipula, kekuasaan dan kekayaan bukanlah tujuan gerak para intelektual, kekayaan dan kekuasaan mereka adalah menyampaikan ilmu pengetahuan demi tegaknya kebenaran dan keadilan.

Mengesampingkan Bangsa dan Tradisi

Julian Benda berpesan bahwa seorang intelektual berada dalam ruang universal, tidak terikat baik oleh batasan negara, maupun identitas etnik. Intelektual tidak lagi bias Barat, atau kutub lainnya. Edward Said sendiri membahasnya secara lengkap dalam buku termashyurnya, Orientalisme, yang ia beri subjudul: menggugat hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai subyek. 

Noam Chomsky, penulis Amerika yang berlatar belakang Yahudi adalah sosok intelektual yang sering Edward kutip dikarenakan tulisan-tulisannya yang sering mengkritik Barat dan Amerika yang menjadi negaranya sendiri. Begitupun dengan Bassam Tibi yang mengkritik Islamisme yang digalakkan oleh sebagian kaum muslim yang melakukan gerakan politik dengan mengatasnamakan agama Islam. Intelektual tidak memandang bangsa atau tradisi, sekalipun itu adalah bangsa dan tradisinya sendiri. Yang ia pikirkan hanyalah kebenaran dan keadilan. Maka benarlah pengelompokan Shils, bahwa kaum intelektual bertugas untuk menantang norma yang ada, atau dalam cara akomodatif, mereka eksis untuk mempersiapkan tatanan dan kesinambungan dalam kehidupan masyarakat. Meskipun, pilihan oposisi lebih sering dipilih oleh kaum intelektual ketimbang pilihan akomodatif. Kepekaan tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang dalam masyarakat.

Intelektual di Pengasingan: Kaum Ekspatriat dan Kaum Marjinal

Pengasingan adalah nasib yang nyaris identik dengan kaum intelektual. Kalua bukan di tahanan-politikkan, ia diasingkan di negeri antah-berantah. Karya termashyur Gramsci justru dihasilkan ketika ia dipenjarakan oleh rezim Mussolini. Begitupun dengan ceramah dan tulisan Imam Khomeini yang menyulut revolusi di Iran, merupakan renungan beliau dalam pengasingannya di Prancis.

Di Indonesia sendiri, Pancasila dan pemikiran Soekarno lainnya, tidak jarang dihasilkan melalui perenungan beliau ketika di penjara atau diasingkan oleh rezim kolonial Hindia-Belanda. Penjara dan pengasingan tidak akan memadamkan api revolusi yang ada dalam pikiran kaum intelektual. Sehingga, Hatta sampai berpesan bahwa penjarakan aku di mana saja, selama bersama buku, maka aku bebas. Penjara dan pengasingan justru memperkaya khazanah keilmuan dan perenungan kaum intelektual. Terkadang, pengasingan malah dibutuhkan demi pelecut semangat dan pengingat bagi gerakan besar kaum intelektual.

Kaum Profesional dan Kaum Amatir

Kaum profesional menurut Edward Said, kesulitan menjalankan fungsi intelektual dikarenakan keharusan mereka untuk tunduk pada profesi dan tuan dalam institusi profesinya. Lihatlah dosen yang mengharap pada kampusnya, penulis yang bergantung pada penerbitnya, aktivis yang tunduk pada senior dan pimpinannya. Meraka akan mempertimbangkan suara kebenarannya demi lancarnya kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Itulah mengapa, intelektual sejati, seperti Nabi Muhammad Saw memilih menjadi pengusaha agar tidak menggadaikan keberlangsungan dakwahnya kepada pimpinan. Begitupun dengan Soekarno yang menolak menjadi arsitek untuk bekerja pada pemerintahan rezim Hindia-Belanda dengan berkata bahwa dirinya bukanlah perancang jalan, jembatan, atau gedung, melainkan perancang, pembangun, atau pendiri bangsa.

Di sinilah peran intelektual dibutuhkan, apakah ia mendahukukan moral publik, atau kepentingan dirinya? Profesional masa kini sering dikaitkan dengan spesialisasi. Kita tidak boleh berbicara tentang politik jika kita tidak memiliki kertas bernama ijazah sarjana politik. Pendidikan direduksi menjadi formalitas dan ruang sempit spesialisasi. Padahal, semakin banyak ilmu yang kita kuasai, semakin berguna bagi diri sendiri dan masyarakat. Kalau profesionalitas mengharuskan spesialisasi, lebih baik menjadi kaum amatir yang terus belajar mengenai segala sesuatu. Merasa amatir agar tetap dan terus belajar hal-hal yang belum diketahui dan dikuasai. Edward Said menyarankan agar intelektual lebih baik memilih menjadi kaum amatir yang sadar, ketimbang menjadi profesional namun memohon-memohon kepada otoritas. 

Mengatakan Kebenaran Kepada Kekuasaan

Tugas terpenting dari kaum intelektual adalah mengatakan kebenaran kepada penguasa, bahkan kepada kekuasan, termasuk jika kekuasaan itu berada di tangannya sendiri. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Bagi Edward Said, seorang intelektual adalah “pencipta sebuah Bahasa yang mengatakan kebenaran kepada yang berkuasa.” Dosa yang besar dari seorang intelektual adalah jika ia mengetahui apa yang harus dikatakan, namun ia mengindari untuk mengatakannya. Karena pada hakikatnya, hidup seorang intelektual adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan. 

Baca juga : Resensi Buku Ideologi Kaum Intelektual – Ali Syariati

Bagaimana intelektual mengatakan kebenaran? Kebenaran yang seperti apa? Bagi siapa dan di mana? Intelektual tidak dapat menjadi milik siapa-siapa. Karena itu ia selalu dianggap berbahaya. Ia boleh solider dengan kelompoknya, tetapi selalu dengan kritis. Ia kadang dianggap tidak loyal. Menurut kaum intelektual, loyalitas hanyalah kepada kebenaran dan keadilan. Persis seperti kata Aristoteles, bahwa Plato memang sahabatku, tetapi kebenaran lebih akrab bagiku.

Dewa-Dewa yang Selalu Gagal

Berhadapan dengan dewa-dewa penguasa, seringkali terjadi apa yang oleh Daniel Dhekade sebagai intellectual abortus, atau intelektual yang diaborsi. Mereka digugurkan sebelum proses kelahiran intelektualitasnya. Dalam pengantar buku Benedict Anderson yang berjudul Imagined Communities, Daniel Dhekade merujuk kepada Soe Hok Gie dan Achmad Wahib sebagai intelektual yang gugur. 

Baca juga : Resensi Buku Filosofi Teras – Henry Manampiring

Betapapun kerasnya perjuangan menyerukan kebenaran dan keadilan, apa lagi kepada penguasa yang dzalim, misi tersebut tetap harus digalakkan demi terciptanya masyarakat yang adil-makmur. Karena bagi kaum intelektual, hanya Tuhan yang Maha Adil dan Maha Benar yang dapat menyudahi perjuangannya. Karena bagi kaum intelektual, dewa-dewa penguasa despotik akan selalu gagal.

Written by Jari Telunjuk
Tukang jaga di jaritelunjuk Profile

One Reply to “Review Buku Peran Intelektual –  Edward Said ”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *