Judul : Yellowface
Penulis : R. F. Kuang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 336
Tahun Terbit : 2023
Rating : 4.5/5.0
Ketika berbicara tentang dunia kepenulisan dan penerbitan, apa yang sering kali terlintas dalam pikiran? Apakah dalam dunia kepenulisan seseorang dapat langsung meroket dalam percobaan pertama dan menjadi bintang atas karyanya? Atau sebaliknya, setelah buku terbit dan debut, justru bertemu dengan hambatan seperti penerbit yang gulung tikar hingga cetakan pertama buku yang disunat dari jumlah awal yang telah disepakati? Bahkan tak jarang berujung pada fenomena perampasan kekayaan intelektual serta pencurian ide antar penulis? Jika benar, maka buku karya R. F. Kuang yang bertajuk ‘Yellowface’ ini bisa menjadi rujukan yang wajib dibaca bagi orang-orang yang berkecimpung ataupun tertarik untuk mengetahui keadaan dunia kepenulisan dan penerbitan.
Kuang mulai membuat konsep tentang ikhtisar ‘Yellowface’ pada tahun 2021 yang akhirnya diterbitkan pada tahun 2023 oleh Liza Dawson Associates melalui The Grayhawk Agency Ltd. Buku ini dicetak untuk yang pertama kalinya dalam edisi bahasa Indonesia dengan desain cover menarik berwarna kuning disertai ilustrasi wajah penulis wanita Asia yang terbelah, seakan menyimpan banyak misteri serta intrik dibalik kematiannya. Berawal dari sebuah keresahannya terhadap banyaknya tantangan dan hambatan dalam industri penerbitan, sang penulis yang juga mahasiwi doktoral dalam bidang bahasa dan literatur Asia Timur di Yale Univeristy berhasil mengemas dan menyampaikan secara efektif bagaimana perjuangan para penulis keturunan Asia-Amerika akan kompleksitas ras dan identitas dalam dunia kepenulisan dan penerbitan, kurangnya keberagaman dalam industri kepenulisan, hingga perampasan budaya yang masih bertahan di industri ini.
Tentu saja, Kuang memberikan tanggapan dengan melahirkan sebuah buku yang menggugah pikiran dari fenomena sisi gelap dunia penerbitan mulai dari perampasan kekayaan intelektual antar novelis hingga banyak pencurian ide yang telah dilakukan di industri tersebut. Dalam narasi ‘Yellowface’ Kuang menggambarkan kesatiran industri penerbitan lewat dua tokoh penulis fenomenal yaitu June Hayward dan Athena Liu. Kisah ini menyoroti seorang penulis kulit putih yang sedang berjuang dan menganggap buku temannya yang baru saja meninggal dalam ketidaksengajaan sebagai miliknya. Ia memberikan ulasan serta sindiran yang cukup kritis tentang fenomena kelam dunia penerbitan dengan memunculkan cerita pencurian ide hingga budaya dan mengemasnya lewat karya fiksi agar pembaca bisa membacanya.
Tulisan Kuang yang kuat dan penuh nuansa, dibuka dengan menyodorkan kisah pertemanan dua penulis yaitu June Hayward dan Athena Liu yang secara tidak sengaja terjadi. June Hayward adalah seorang penulis kulit putih yang berusaha menyelamatkan dan menghidupkan kembali karier menulisnya setelah kegagalan awal debut novelnya serta penerbitnya yang gulung tikar. Sementara itu, Athena Liu, yang disebut-sebut sebagai sosok temannya adalah seorang penulis bergengsi berdarah Asia-Amerika, cantik, karismatik, memiliki aura misterius, dan memiliki segalanya yang tidak dimiliki oleh June. Di bab pembuka, June selalu berfantasi tentang bagaimana rasanya menjadi seorang penulis terkenal? Yang tak perlu bersusah memohon kepada penerbit agar dirinya dikontrak – seperti Athena. June merasakan lonjakan kecemburuan dan iri setiap membaca keberhasilan temannya. Hingga pada suatu malam, dia justru mendapatkan kesempatan itu. Saat mereka sedang merayakan penandatanganan kontrak Athena dengan Netflix, dia menyaksikan Athena tewas tepat di depan mata dalam kecelakaan yang mengerikan sekaligus membingungkan – tersedak pancake, melihat manuskrip yang belum terbit berjudul ‘The Last Front’ milik Athena yang tergeletak di meja bagai bara panas yang menyulut hatinya untuk segera dimiliki, hal tersebut lantas membuat June melakukan tindakan bodoh dengan menyambar setumpuk manuskrip tersebut yang dipercaya bisa mengantarkannya pada gerbang kesuksesan di dunia kepenulisan.
Namun, June Hayward tak bisa digolongkan sebagai penulis yang cakap dan handal. Dengan segala kepicikan yang dimilikinya, June mengedit dan menyelesaikan manuskrip Athena dengan keahliannya dalam meramu setiap kata, kemudian mengklaim mahakarya Athena sebagai karya asli miliknya dan mengirimkannya kepada penerbit. Tak sampai disitu, June juga bersikeras mengganti namanya menjadi Juniper Song alih-alih June Hayward dengan dalih bahwa “Song” adalah nama tengah miliknya yang diberikan oleh ibunya. Meski sambutan yang didapatkannya ternyata sangat baik dan bukunya masuk dalam daftar buku terlaris, June tak lebih dari sekedar borok dalam industri kepenulisan. Perampasan kekayaan intelektual dan kecakapannya dalam membohongi publik telah mencoreng apa yang layak disebut sebagai penulis. Bahkan June berani menjalankan cara-cara yang tidak lazim dilakukan dalam industri penerbitan. Meskipun seperti yang kita semua tahu, plagiarisme adalah tindakan tidak terpuji dan tidak dibenarkan. Namun, June yang sudah gelap mata menganggap hal tersebut adalah hal yang pantas dia dapatkan atas kerja keras yang telah dilakukannya.
Naasnya, di tengah karirnya sebagai penulis yang sedang naik daun, ada seseorang yang mengaku mengetahui tentang ulah perampasan budaya dan kekayaan intelektual yang telah dilakukannya. @HantuAthena, begitu akun itu dikenal di Twitter, akun ini meneror dan melempar kritik-kritik tajam untuk June tentang pencurian manuskrip yang dilakukan pada mendiang temannya – Athena. Ternyata kebobrokan yang disimpan dan disembunyikan June jauh di dalam perlahan-lahan mulai muncul ke permukaan dan pencurian yang sebenarnya pun terungkap. Konflik semakin tegang ketika June mulai dihantui oleh bayang-bayang Athena, yang sering bermunculan secara tidak terduga. Dan semakin sukses karya seorang penulis, maka akan semakin banyak perhatian yang terpusat pada dirinya. Banyaknya bukti-bukti dari berbagai kalangan di media sosial yang mulai bermunculan membahas dan juga meragukan karya ‘The Last Front’ yang dikalim sebagai karya asli Juniper Song hingga mengancam popularitas serta eksistensinya sebagai penulis gadungan. Kuang berhasil mengajak para pembaca untuk menyelami perspektif lain dan unik yang disajikannya, tentang bagaimana cara June dalam mensiasati dan mempertahankan karirnya agar tidak meredup, untuk melindungi kebenaran pahit dibalik ketenarannya dengan cara yang tak pernah terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya.
‘Yellowface’ merupakan novel kelima Kuang. Narasi ini adalah bacaan yang menyenangkan, dieksekusi dengan cepat, intens, dan mencekam. Sebuah thriller sastra satir yang menohok tentang bagaimana fenomena kelam dunia penerbitan mulai dari perampasan kekayaan intelektual antar novelis hingga pencurian ide yang telah dilakukan di industri tersebut. Dan R. F. Kuang berhasil menyajikan kepada pembaca cerita kebengisan perampasan kekayaan intelektual tersebut lewat pengemasan fiksi satir yang menegangkan sekaligus lucu. Ini juga merupakan kritik paling detail dan terperinci terhadap dunia kepenulisan serta penerbitan yang dikemas dalam fiksi. Buku ini akan membuka kacamata pembaca dalam melihat keanehan serta kenyataan industri penerbitan yang kejam, acuh tak acuh, serta bisa ditipu dengan amat sangat rapi oleh para penulis yang sesungguhnya merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang manapun.
One Reply to “Resensi ‘Yellowface’, sebuah Satir tentang Perampasan Kekayaan Intelektual dalam Dunia Penerbitan”