Judul : Ushul Fiqh dan Fiqh
Penulis : Murtadha Muthahhari
Penerbit : Zahra
Halaman : 149
Buku yang sementara anda baca resensinya ini adalah buku dari seorang Ulama kenamaan Iran, Murtadha Muthahhari. Pernah diterbitkan oleh penerbit Zahra pada tahun 2003 dengan judul Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, kemudian diterbitkan kembali oleh penerbit RausyanFikr pada tahun 2012 dengan judul Ushul Fiqh dan Fiqh. Buku ini terbagi ke dalam dua bagian, yang tersebar ke dalam 149 halaman. Buku ini menjadi begitu penting, mengingat kerapnya kita menyepelekan aspek fikih dalam praktik keberagamaan kita dengan dalih mendahulukan aqidah dan akhlak. Padahal, syariat beragama bertumpu dan berjalan berkelindan kepada ketiganya tanpa dapat dipisah-pisahkan.
Ushul Fiqh
Untuk memahami Fikih, dibutuhkan beberapa ilmu dasar untuk menjadi penopang pemahaman yang mendalam (fiqh sendiri berarti pemahaman yang mendalam), diantaranya ilmu bahasa Arab, Tafsir Al-Qur’an, Logika (Mantiq), Kajian Hadits, Kajian Perawi (Rijal), dan Ushul Fiqh. Ushul Fiqh sendiri dapat didefinisikan sebagai ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut. Singkatnya Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar terbentuk hukum Islam atau fiqih.
Baca juga : Resensi Buku Isti’adzah – Abdul Husein Dasteghib
Adapun sumber-sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Penalaran. Al-Qur’an merupakan sumber primer hukum Islam, yang mana dari 6.666 ayat setidaknya sepertiga belasnya berbicara mengenai hukum. Sunnah sendiri adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Saw, yang oleh mazhab Syiah dimasukkan pula atsar para Imam suci mereka. Ijma’ adalah kesepakatan dengan suara bulat dari para ulama Muslim tentang suatu masalah tertentu (Murtadha Muthahhari, Ushul Fiqh dan Fiqh. RausyanFikr Institute, Yogyakarta. 2012, hal 20).
Sementara akal atau penalaran adalah proses berpikir proporsional, baik itu sifatnya deduktif, maupun induktif. Penalaran analogi (qiyas) tidak mendapat persetujuan kolektif di antara pelbagai aliran dalam Islam. Proses penalaran dilakukan oleh seorang mujtahid yang melakukan ijtihad. Status mujtahid memerlukan beberapa persyaratan, yang mana jika tidak memenuhi syarat, maka seorang muslim tersebut akan berstatus sebagai muqallid yang bertaqlid atau ikut kepada seorang alim yang berstatus mujtahid.
Keempat sumber hukum Islam tersebut kemudian dikaitkan dengan proses penyimpulan yang terbagi ke dalam empat bagian, yaitu; dalil mengikat kebenaran Al-Qur’an yang nyata dan diterima, dan kebenaran Sunnah yang nyata dan diterima, yang mana dibagi lagi ke dalam riwayat tunggal dan penggabungan serta pemilihan. Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber primer hukum Islam, sementara Ijma’ dan Penalaran adalah sumber sekunder hukum Islam.
Dalam sumber primer hukum Islam terdapat setidaknya 7 bagian secara garis besar pembahasan, yaitu mengenai perintah (awamir), larangan (nawahi), pembahasan mengenai hal-hal umum dan khusus, pembahasan mengenai yang mutlak dan bersyarat, pembahasan tentang makna yang implisit, pembahasan tentang yang abstrak dan yang jelas, serta pembahasan tentang yang menghapus (nasikh) dan yang dihapus (mansukh) (Muthahhari, hal 37).
Baca juga : Resensi Buku Beragama dengan Akal Sehat – Agus Mustofa
Dalam sumber sekunder hukum Islam, Ijma’ terbagi lagi ke dalam Ijma’ yang dicapai langsung oleh seorang mujtahid, dan Ijma’ naratif yang diriwayatkan oleh mujtahid-mujtahid lain. Sementara itu, akal dikategorikan sebagai sumber hukum Islam dikarenakan kemampuannya untuk melakukan penalaran atas sumber primer hukum Islam.
Sumber sekunder hukum Islam dibutuhkan hanya sejauh sebagai alat untuk memahami lebih mendalam berkenaan sumber primer hukum Islam. Dan Ijma’ sebagai penalaran ulama secara kolektif dan bulat lebih harus didahulukan daripada penalaran seorang mujtahid jika menyangkut persoalan dalam konteks ruang dan waktu yang sama. Prinsip-prinsip aplikasi umum yang digunakan di semua bagian fikih terdapat empat, yaitu; prinsip pembahasan, prinsip kehati-hatian, prinsip pilihan, dan prinsip penetapan.
Yurisprudensi (Fiqh)
Fikih didefinisikan sebagai kajian tentang seperangkat perintah-perintah yang mengatur perbuatan, yang diperoleh dari sumber-sumber dan bukti-bukti yang terperinci. Ulama Islam membagi tiga ajaran Islam, yaitu aqidah, akhlak, dan fikih. Terdapat dua macam hukum, yaitu hukum taklifi yang berisikan perbuatan yang diperintahkan, dilarang, dianjurkan, dibenci, dan dibolehkan. Satunya lagi adalah hukum tentang keadaan yang berisikan situasi, seperti perkawinan, kepemilikan, dan hak-hak atasnya (Muthahhari, hal 67).
Kewajiban kemudian dibagi lagi ke dalam ta’abbudi yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka niatnya harus untuk Allah Swt, yang mana jika tidak, maka tidak diterima sebagai suatu kewajiban berdimensi ibadah. Sementara kewajiban tawassuli, meskipun tidak diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, tetap dianggap memenuhi kewajibannya.
Baca juga : Resensi Buku Teologi dan Falsafah Hijab – Murtadha Muthahhari
Selain klasifikasi berdasar niat, terdapat pula klasifikasi lain mengenai perbuatan yang wajib tersebut, yaitu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah berdasarkan dimensi individu dan sosial, wajib tunggal seperti shalat dan wajib opsional dengan memilih salah satu pilihan kewajiban seperti memerdekan budak atau berpuasa berturut-turut selama 60 hari bagi yang meninggalkan sehari puasa wajibnya. Ada pula wajib bagi dirinya sendiri, misalnya shalat, dan wajib bagi sesuatu yang lain, misalnya berwudhu sebelum shalat.
Fuqaha atau ahli fikih terbentang dalam sejarah panjang Islam, mulai dari zaman setelah gaib kecilnya Imam Mahdi as hingga sekarang. Merekalah ulama yang dalam sabda Nabi Saw disebut sebagai para pewaris Nabi. Para Fuqaha kemudian membagi persoalan-persoalan fikih ke dalam 4 bagian yang tersebar ke dalam 52 bab.
Bagian pertama disebut sebagai kitab ibadah yang terdiri atas 10 bab, diantaranya; kitab penyucian, kitab shalat, kitab zakat, kitab khums, kitab puasa, kitab pengasingan diri (i’tikaf), kitab haji, kitab umrah, kitab jihad, dan kitab menganjurkan kebaikan serta mencegah keburukan. Bagian kedua disebut kitab perjanjian yang terdiri atas 19 bab, diantaranya; kitab jual beli, gadai, bangkrut, larangan, pertanggungjawaban, perdamaian, kemitraan, kemitraan modal dan kerja, kemitraan pertanian, amanat, peminjaman, sewa, perwakilan, wakaf dan sedekah, wakaf temporer, hibah, taruhan, wasiat, dan perkawinan (Muthahhari, hal 111).
Baca juga : Resensi Buku Filsafat Perempuan dalam Islam – Murtadha Muthahhari
Bagian ketiga disebut sebagai kitab perjanjian sepihak yang terdiri atas 11 bab, diantaranya; kitab perceraian, kitab perceraian menyeluruh dan sebagian yang diajukan oleh istri, perceraian ilegal, pembatalan sumpah, mengutuk atau memaki, pemerdekaan, kitab mendapatkan kemerdekaan melalui wasiat, pembelian, atau persaudaraan, kitab pengakuan, kitab imbalan, kitab sumpah, dan kitab mengangkat sumpah.
Bagian keempat disebut sebagai kitab hukum-hukum yang terdiri atas 12 bab, diantaranya; kitab berburu dan menyembelih, kitab makan dan minum, kitab penyalahgunaan, kitab hak pilihan, kitab menghidupkan tanah yang mati, kitab barang temuan, kitab waris, kitab arbitrase, kitab kesaksian, kitab hukuman, kitab pembalasan, dan kitab ganti rugi (Muthahhari, hal 136).
Perspektif Resentor
Betapapun kayanya khazanah keilmuan Islam, khususnya Ushul Fiqh dan Fiqh, sejak zaman awal Islam, namun dikarenakan perbedaan zaman, dibutuhkan pembaharuan dan penyesuaian Fiqh dengan konteks zaman oleh Fuqaha atau Mujtahid kontemporer. Dari 52 bab fiqih yang dipaparkan Muthahhari dalam bukunya ini, Ulama kontemporer menyederhanakan dan membaginya ke dalam empat bagian terbaru, yakni bab tentang ibadah dan penyempurnaan diri, bab tentang ekonomi, bab tentang politik, dan bab tentang keluarga. Perlu ditekankan sekali lagi, bahwa Fikih haruslah berjalan berkelindan dengan 2 ajaran Islam (syariat) lainnya, yaitu Aqidah yang memuat keyakinan mendasar dalam Islam, dan Akhlak yang menyangkut perbuatan moral universal umat manusia. Fiqih tanpa Aqidah dan Akhlak merupakan kezaliman terhadap Islam, begitupun sebaliknya.
2 Replies to “Resensi Buku Ushul Fiqh dan Fiqh – Murtadha Muthahhari”