Judul : Kuasa Uang
Penulis : Burhanuddin Muhtadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Halaman : 416
Mengapa negara demokrasi baru rentan terhadap klientelisme? Lebih spesifik lagi, mengapa jual beli suara di Indonesia pasca otoritarianisme semakin marak? Alasan utama yang dapat dikemukakan adalah karena kemerdekaan politik tidak berjalin berkelindan dengan kemerdekaan ekonomi. Betul bahwa kita telah sampai pada demokrasi prosedural, dimana kita telah bebas memilih dan dipilih. Namun jika yang dipilih tidak kunjung memperbaiki hajat hidup rakyat ketika ia telah terpilih, maka menerima sesuatu yang konkret “di sini” dan “kini” menjadi sesuatu yang lebih pasti menurut rakyat yang memiliki hak pilih.
Tidak semua negara demokrasi baru dapat digeneralisir dengan kondisi di Indonesia. Karena sistem kepartaian dalam pemilu antara negara yang satu dengan yang lainnya berbeda. Antara negara-negara Amerika Latin dengan Indonesia berbeda dalam aspek preferensi ideologi partai dan sistem pemilu di Indonesia yang terbuka, yang mana berimbas pada persaingan internal partai, alih-alih kandidat dari partai lain.
Indeks Politik Uang di Indonesia
Indonesia menempati urutan ketiga negara paling terpapar politik uang, dengan persentase 33 persen pemilih terpapar politik uang. Hanya dua step di bawah negara Afrika, yaitu Uganda dan Benin. Indeks tersebut bukan hanya berlaku pada tingkat Pileg, melainkan pula Pilpres dan Pilkada.
Jika diurai lebih lanjut, maka teori mengenai faktor-faktor determinan politik uang antara lain dikarenakan arus modernisasi yang terhambat, kurangnya keterlibatan kewargaan, dan sikap politik oleh para aktor politik, tim sukses, hingga pemilih itu sendiri. Adapun target operasi politik uang terbagi dua pandangan; ada yang menyatakan lebih kepada pemilih loyal demi penguatan basis dan ada yang menyatakan lebih kepada pemilih mengambang demi memperbesar ceruk suara.
Baca juga : Resensi Buku Matinya Demokrasi dan Kuasa Teknologi – Jamie Bartlett
Dengan kurangnya keterikatan pemilih dengan partai tertentu (Party ID) di Indonesia, yaitu di bawah 15 persen, maka menargetkan politik uang kepada pemilih pengambang, alih-alih memperbesar ceruk suara justru membuat pemilih loyal kecewa dan mengalihkan suaranya kepada kandidat lain.
Efektivitas Politik Uang
Namun pertanyaan mendasarnya adalah; apakah pundi-pundi uang yang dikeluarkan oleh kandidat sejalan dengan hasil yang diharapkan? Ternyata efektivitas politik uang hanya berkisar pada angka 10 persen dari dana yang dikeluarkan oleh kandidat. Lalu mengapa politik uang masih terus marak? Hal itu dikarenakan margin 10 persen adalah margin yang sangat besar untuk memenangkan pemilu yang sangat sengit dan berskala perang internal partai. Jika kandidat lain menghamburkan uang sebanyak-banyaknya walaupun margin tipis, itu sudah mengantarkannya memenangkan pertarungan, maka inilah alasan mengapa seorang kandidat mau tak mau juga harus ikut mengeluarkan pundi-pundi uangnya.
Lalu, mengapa efektivitas politik uang hanya berkisar 10 persen, atau dengan kata lain, mengapa target politik uang meleset? Faktor utamanya adalah karena antara apa yang diklaim oleh tim sukses dengan fakta lapangan mengalami perbedaan dan terkesan dilebih-lebihkan oleh tim sukses tersebut. Data pemilih loyal dimanipulasi demi mendapat pundi uang dan kepercayaan dari kandidat. Tidak jarang pula, tim sukses bermain ganda pada beberapa kandidat. Bahkan, uang yang mestinya digelontorkan kepada pemilih justru dikorupsi oleh tim sukses.
Baca juga : Buku Ekonomi Politik – 7 Buku Rekomendasi untuk Anda Baca!
Faktor kedua adalah pemilih yang tidak hadir ke tempat pemungutan suara atau bahkan mengalihkan dukungan meskipun sudah diberikan uang oleh sang kandidat. Pemilih menganggap uang tersebut adalah hak mereka dikarenakan selama 5 tahun menjabat, yang terpilih toh juga tidak memperhatikan mereka. Beberapa pemilih menyatakan bahwa pejabat menipu rakyat selama 5 tahun, kapan lagi kita membalas tipuan mereka, meskipun hanya sehari.
Mengenal Lebih Dekat Tim Sukses
Tim sukses di Indonesia cukup banyak, meskipun hanya dikerjakan selama masa pemilu. Tim sukses adalah agen yang membantu proses pemenangan kandidat dalam pemilu. Kandidat di mata tim sukses bisa berupa atasan atau sekadar hubungan kekerabatan. Jika relasinya adalah atasan-bawahan, maka orientasi utama dari tim sukses adalah meningkatkan modal ekonomi tim sukses. Sementara jika relasinya lebih kepada kekerabatan, maka orientasi utamanya adalah merawat modal sosial.
Target dari tim sukses adalah keluarga, sahabat, tetangga, siapa saja yang bisa mereka pengaruhi secara politik maupun ekonomi. Adapun jenis transaksi yang paling mayor adalah uang, kebutuhan rumah tangga, hingga janji pekerjaan dan fasilitas publik. Adapun metode tim sukses mengejar rente antara lain; honor dan uang transportasi dari kandidat (wajar) dan pemotongan uang yang semestinya ditujukan kepada pemilih (korupsi). Kita menjadi paham, mengapa efektivitas politik uang hanya belasan persen, mengingatnya longgarnya pengawasan terhadap tim sukses dan pemilih.
Penutup
Politik uang diperhalus maknanya oleh para pelakunya sebagai dana partisipasi. Inilah salah satu alasan mengapa partisipasi pemilih meningkat di Indonesia dari tahun 2014 ke tahun 2019. Implikasi politik uang yang makin marak ini dikhawatirkan memperburuk kualitas demokrasi yang berujung pada frozen democracy, terhambat hanya pada demokrasi prosedural, atau yang paling buruk adalah kematian demokrasi itu sendiri.
Adapun rekomendasi yang penulis ajukan, antara lain; evaluasi dan pengembalian sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka, atau dapat menggantinya pada sistem distrik, dapat pula redesain elektoral demi pencegahan politik uang, penegakan hukum yang berkeadilan, dan pendidikan tentang bahaya politik uang yang mengancam kualitas demokrasi.
2 Replies to “Resensi Buku Kuasa Uang – Burhanuddin Muhtadi”