Judul : Kejahatan Siber
Penulis : Maskun, S.H., LL.M.
Penerbit : Penerbit Kencana
Halaman : 220
Buku Kejahatan Siber (Cyber Crime) adalah buku yang ditulis oleh Maskun, seorang pengajar hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Buku yang diterbitkan Penerbit Kencana pada tahun 2013 ini terdiri dari 220 halaman yang terbagi ke dalam 4 bagian disertai lampiran berkenaan dokumen hukum yang terkait dengan cyber crime.
Sistem Telekomunikasi dan Informasi
Telematika, atau yang dalam bahasa Prancis telematique, mengandung arti berpadunya sistem jaringan komunikasi dan teknologi informasi. Berpadunya teknologi digital tersebut kemudian disebut konvergensi. Sistem kerja telematika terbagi atas; sistem kabel, sistem nirkabel, dan sistem satelit.
Kerangka hukum telematika kemudian hadir untuk menjawab segala permasalahan dunia siber, seperti kejahatan siber, penandatanganan dokumen elektronik, pengaturan konten, penyelesaian sengketa dunia maya, dan lain sebagainya. Maka, hukum sebagai seperangkat kaidah yang mengatur masyarakat kemudian hadir pada ranah maya, mulai dari hukum pidana, hukum e-commerce, hukum perlindungan konsumen, hukum telekomunikasi, , hingga hak kekayaan intelektual.
Baca juga : Resensi Buku Dari Filsafat Ke Filsafat Teknologi – Yesaya Sandang
Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai jagad maya tersebut disahkan oleh negara dalam Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik. Adapun perbuatan yang dilarang menurut UU ITE termuat dalam Pasal 27 hingga Pasal 37, yang diantara mengatur tentang pelanggaran kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, tindakan pemerasan, pengancaman, dan ragam kejahatan siber lainnya.
Kejahatan Siber
Peradaban manusia salah satunya ditopang oleh teknologi. Namun teknologi membawa serta ekses positif dan negatif di dalamnya. Kejahatan dalam teknologi siber pun menjadi tak terhindarkan. Kejahatan siber adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai perangkat digital (komputer, handphone, tablet, laptop) sebagai sarana maupun objek, baik untuk memperoleh keuntungan atau tidak, dengan merugikan orang lain.
Baca juga : Resensi Buku Etnografi Dunia Maya Internet – Bayu Indra Pratama
Kejahatan siber mencakup diantaranya; pembajakan, penipuan, pencurian, pornografi, pelecehan, pemfitnahan, dan pemalsuan. Perangkat digital dapat dijadikan sebagai sasaran kejahatan maupun sarana atas terjadinya suatu kejahatan. Salah satu pelaku kejahatan siber disebut sebagai hacker (hacking, cracking, phreaking), yaitu upaya menembus perangkat digital pihak lain untuk mengetahui sistem, informasi, data, dan bagaimana berfungsinya sistem tersebut. Para hacker memiliki profil pelaku tersendiri, budaya, aturan main, bahasa para hacker, strata sosial, hingga jaringan tersendiri di antara mereka yang sulit ditembus. Di Indonesia, sudah terjadi kasus di mana pihak Kasat Cyber Crime Polda Metro Jaya menangkap pelakunya dan dijerat dengan hukuman pidana 5 tahun penjara.
Yuridiksi
Bagaimana dengan yurisdiksi? Apakah pelaku kejahatan harus hadir di pengadilan di mana ia melakukan kejahatan, mengingat tidak terbatasnya ruang siber pada wilayah negara tertentu. Internet yang tidak terbatas secara geografis itu pada awalnya merupakan infrastruktur militer saat perang dingin. Cara kerja internet terdiri dari menghubungkan perangkat digital yang banyak itu ke dalam suatu jaringan yang sangat besar. Adapun aplikasi-aplikasi pada internet antara lain; telnet (remote login), file transfer protocol (FTP), electronic mail, news, world wide web (www), dan lain sebagainya.
Sifat internet dan ketidaktentuan geografis ini yang mempersulit penyidikan mengenai yurisdiksi mana yang berwenang menindak pelaku kejahatan siber. Hukum internasional setidaknya telah mempermudah permasalah yuridis kejahatan siber dengan mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional; prinsip teritorial, prinsip nasionalitas, prinsip perlindungan, dan prinsip universal.
Baca juga : 6 Rekomendasi Buku Sains Populer
Selain pembahasan mengenai yurisdiksi negara mana yang berwenang menindak pelaku kejahatan siber, yuridiksi kejahatan siber juga mencakup berkenaan obyek kejahatan sibernya, yang kemudian terbagi atas yurisdiksi pidana dan yurisdiksi perdata. Pengadilan dapat menindak pelaku kejahatan siber bergantung pada halaman situs dan kontaknya dengan forum internet tersebut. Mengenai kejahatan siber, prinsip yurisdiksi universal, atau setiap negara berhak menindak kejahatan tertentu, adalah pilihan yang baik untuk menindak kejahatan siber.
Catatan atas Kasus Prita Mulyasari
Keluhan Prita dalam bentuk e-mail pada Rumah Sakit Omni Internasional, menyisakan hukuman pidana kepada Prita yang telah dianggap mencemarkan nama baik Rumah Sakit tersebut. Menurut Maskun, telah terjadi konstruksi hukum yang tidak tepat yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 UU ITE mengacu pada substansi yang diatur dalam Pasal 310 KUHP. Selain itu, e-mail yang dijadikan sebagai alat bukti pun diambil hanya sepotong, bukan keseluruhan keluhan Prita dalam e-mail tersebut. Dikarenakan kerusuhan tersebut, Pasal 27 ayat (3) UU ITE kemudian diajukan uji permohonan, karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menyebarkan informasi yang diatur dalam UUD 1945.
Meski ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Pasal 27 UU ITE dan kasus Prita pada khususnya, mengajarkan kita beberapa hal. Bahwa penegak hukum harus cermat dalam melakukan konstruksi hukum dalam kasus ranah informatika dan transaksi elektronik. Masyarakat atau warganet juga harus berhati-hati dalam setiap perilaku sumbernya, mengingat semua perilakunya tercatat dalam jejak digital. Pemerintah pun harus segera melakukan menyusun atau revisi atas Pasal-Pasal dalam UU ITE, maupun peraturan lainnya, mengingat perkembangan eksponensial teknologi digital.
One Reply to “Resensi Buku Kejahatan Siber – Maskun”