Judul : Kaum Demokrat Kritis
Penulis : Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Halaman : 326
Demokrasi terbagi atas demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Demokrasi prosedural adalah demokrasi dalam sudut pandang proses terselenggaranya sistem yang demokratis, yang ditandai dengan adanya pemilihan umum secara berkala yang mana warga negara berhak memilih dan dipilih. Sementara demokrasi substantif adalah demokrasi dalam sudut pandang bagaimana demokrasi tersebut meningkatkan taraf hidup warga negara, yang ditandai dengan kemerdekaan berpikir, berekspresi dan berserikat, baik dalam segi ekonomi maupun politik. Singkatnya, demokrasi prosedural adalah legalitas formal, sementara demokrasi substantif adalah isi yang menjiwai demokratisasi itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia pasca-reformasi, kita sudah sampai pada tahap demokrasi prosedural yang solid setelah keluar dari demokrasi asal-asalan rezim sebelumnya. Namun, kita masih dalam tahap konsolidasi lebih lanjut demi mencapai demokrasi substantif. Jika Sila Keempat mensyaratkan adalah kehidupan kerakyatan yang dipimpin dengan hikmat-bijaksana (demokrasi prosedural), maka kehadiran demokrasi substantif adalah jembatan untuk mencapai Sila Kelima, yaitu mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimanakah cara sampai kepada demokrasi substantif? Dan apakah stagnasi pada demokrasi prosedural tidak membuat kita justru terjerembab kembali pada demokrasi semu sebagaimana pada rezim pra-reformasi? Di sinilah eksistensi kaum demokrat kritis diperlukan.
Kaum Demokrat Kritis
Kaum demokrat kritis adalah mereka yang mendukung demokrasi di satu sisi, namun melakukan kritik terhadap kinerjanya di sisi lain. Dukungannya pada demokrasi prosedural harus diiringi dengan kritiknya pada kinerja demokrasi demi tercapainya demokrasi substantif. Kaum demokrat kritis menjadi begitu penting, mengingat kita memasuki era krisis demokrasi yang melanda seantero dunia. Mulai dari bangkitnya populisme di Barat, otoritarianisme China, dan krisis politik yang melanda Timur Tengah.
Baca juga : Resensi Buku Matinya Demokrasi dan Kuasa Teknologi – Jamie Bartlett
Krisis demokrasi global ditandai setidak-tidaknya pada menurunnya angka partisipasi pemilih dalam Pemilu dan ekses negatif terhadap polarisasi yang memperhadapkan sesama anak bangsa dalam setiap pagelaran politik. Pembagian karakteristik kandidat ke dalam kandidat yang menawarkan program, kandidat yang menawarkan ketokohan, dan kandidat yang menawarkan segalanya (sapu jagad), harus dibaca ulang dalam konteks meredupnya ideologisasi dalam identitas partai, apalagi kandidat.
Alasan Mengapa Kita Memilih Kandidat Tertentu?
Terdapat alasan sosiologis dan demografis tentang mengapa kita memilih kandidat tertentu? Namun benarkah demikian? Mari kita urai! Pertama, faktor agama. Hal ini kurang relevan dalam konteks Indonesia mengingat proporsi penganut Agama Islam (hampir 90 persen penduduk), terlampau timpang dengan penganut agama lainnya. Berbeda misalnya di Libanon atau Afrika bagian Utara dimana proporsi penganut agama antara penduduknya relatif berimbang. Di Indonesia, yang terjadi adalah Islam vs Islam, dengan pengecualian di beberapa daerah yang minoritas muslim.
Baca juga : Resensi Buku Jangan Bunuh KPK – Denny Indrayana
Kedua, faktor etnisitas. Sama seperti agama, faktor etnisitas tidak terlalu signifikan mengingat proporsi suku di Indonesia didominasi oleh suku Jawa (hampir 50 persen). Itulah mengapa kandidat utama selalu diisi oleh kandidat yang bersuku Jawa. Baru pada kursi wakil kemudian diisi oleh suku lainnya untuk menambah ceruk suara, seperti Suku Sunda, Batak, Minang, Bugis, dan lainnya. Ketiga, kelas sosial. Dikarenakan dilarangnya PKI dan represi Rezim Orde Baru pada politik golongan, sehingga konfigurasi kela sosial antara elite, kelas menengah, dan wong cilik di Indonesia tidak terlalu berarti. Karena hampir semua partai dan kandidat mengklaim mengutamakan wong cilik.
Sebagai ganti dari ketiga faktor di atas, penulis kemudian lebih cenderung pada faktor keempat, yaitu faktor ekonomi-politik. Keberhasilan program terdahulu atau setidaknya-tidaknya rekam jejak kandidat untuk meningkatkan perekonomian dan menghidupkan kemerdekaan politik, menjadi faktor utama mengapa kandidat dipilih. Lalu, bagaimana jika kandidat belum memiliki keberhasilan meningkatkan taraf hidup rakyat? Jika kandidat tersebut adalah oposisi dari pemerintahan sebelumnya yang dianggap kurang berhasil atau gagal, maka kandidat tersebut dipilih dengan catatan membawa angin segar atas perubahan di masyarakat.
Mengatasi “Defisit Demokrasi” Indonesia
Satu-satunya cara mengatasi defisit demokrasi adalah dengan meningkatkan pemilih rasional atau apa yang kemudian disebut sebagai kaum Demokrat kritis. Adapun karakteristik kaum demokrat kritis adalah mereka yang tinggal di daerah urban (perkotaan), memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, berasal dari kelas menengah, dan mereka yang tergolong relatif muda yang menggunakan teknologi informasi sebagai perangkat dalam mendukung demokratisasi.
Baca juga : Resensi Buku Kuasa Uang – Burhanuddin Muhtadi
Selain faktor urbanisasi, tingkat pendidikan, kelas ekonomi menengah, partisipasi pemuda, dan teknologi informasi, terdapat pula faktor tambahan demi mengatasi defisi demokrasi, diantaranya; undang-undang yang mewajibkan semua warga negara untuk memilih dan faktor psikologis seperti identitas partai yang diperkuat kembali. Hanya dengan penguatan faktor di atas, maka kita dapat menyelamatkan demokrasi dari kematiannya. Semoga!
One Reply to “Resensi Buku Kaum Demokrat Kritis – Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi ”