Judul : Jiwa Yang Tenang
Penulis : Abdul Husein Dasteghib
Penerbit : Penerbit Cahaya
Ahmad Husein Dasteghib dalam buku yang berjudul Jiwa yang Tenang, menuliskan tentang empat kondisi dan peringkat kesempurnaan jiwa, berturut-turut dari yang terendah; jiwa yang arogan dan berkuasa memerintah (al-nafsu al-ammarah), lalu jiwa yang mencela (al-nafsu al-lawwamah), kemudian jiwa yang terilhami (al-nafsu al-mulhamah), dan kemudian menyempurna dalam jiwa yang tenang (al-nafsu al-mutmainnah). Bagaimanakah tingkatan setiap peringkat kejiwaan tersebut? Dan sudah sampai dimanakah derajat kejiwaan kita?
Jiwa yang Arogan dan Berkuasa Memerintah (al–Nafsu al-Ammarah)
Sesungguhnya jiwa itu memerintah pada keburukan. Pada tahapan pertama ini, jiwa kita masih acapkali memerintahkan kita ini melalukan keburukan. Jiwa kita merasa berkuasa atas segala hidup yang kita jalani ini. Betapa banyak dari kita yang mendaku; “ini kan hidup gue?!” Atau dengan mengklaim; “aku adalah manusia merdeka yang bebas melakukan segala yang ingin aku lakukan.” Padahal, kita sejatinya budak di hadapan Allah yang Maha Menciptakan Segala Sesuatu. Kita pun tidak dapat terlahir di dunia ini seorang diri tanpa adanya manusia lain. Bahkan jenazah kita pun harus diurusi oleh orang lain ketika kita sudah meninggal. Namun karena perintah eksternal, yaitu iblis, dan perintah internal, yaitu hawa nafsu, jiwa kita kemudian merasa berhak memerintah hidupnya kita. Parahnya lagi, perintahnya acapkali mengarah pada keburukan.
Baca juga : Resensi Buku Filsafat Perempuan dalam Islam – Murtadha Muthahhari
Jiwa yang memerintah tidak mengakui bahwa dirinya adalah seorang hamba dan tentunya tidak mengakui penghambaan, baik itu dalam ibadah ritual seperti shalat, maupun ibadah sosial seperti mengakui dan Berterimakasilah atas bantuan pihak lain, apakah itu sesama manusia, binatang, tumbuhan, dan makhluk lainnya. Manusia jenis ini, bisa saja bertubuh sehat, namun hatinya teramat gelisah. Ketika ia menolak menjadi hamba Tuhan, ketika pula ia menjadi budak setan dan hawa nafsunya. Inilah mereka yang sebenarnya.
Jiwa yang Mencela (al-Nafsu al-Lawwamah)
Dan Aku benar-benar bersumpah dengan jiwa yang mencela. Tingkatan kedua jiwa setelah ia mampu meninggalkan jiwa yang memerintah pada keburukan adalah jiwa yang mencela. Apa yang ia cela? Tentunya sesuatu yang telah ia tinggalkan pada tingkatan pertama. Jiwa kemudian mampu mencela keburukan. Walaupun belum sepenuhnya meninggalkan keburukan, setidaknya jiwa telah mampu mengkritisi dirinya sendiri yang acapkali melakukan keburukan.
Jika pada tingkatan pertama jiwa tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu (kebodohan ganda), pada tingkatan kedua setidaknya jiwa telah mengetahui bahwa dirinya tidak tahu (kebodohan tunggal). Jika pada jiwa yang memerintah kita mengalami mental disorder (ketidakmampuan memahami perilaku buruk diri sendiri), maka pada jiwa yang mencela kita kemudian mencela perilaku buruk yang kita lakukan.
Jiwa yang Terilhami (al-Nafsu al-Mulhamah)
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan kefasikan dan ketakwaan). Inilah tingkatan ketiga dari maqam kejiwaan. Jiwa kita telah menjadi penasih batin. Psikologi modern menyebutnya internal dialogue. Pada tingkatan ini, jiwa telah menerima Ilham yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Jiwa yang terilhami seringkali membuat hidup kita tersentuh nasihat. Bahkan jiwa kita tetap stabil meskipun sedang marah.
Baca juga : Resensi Buku Jangan Bakar Taman Surgamu – K.H Jalaluddin Rakhmat
Namun pada tingkatan ketiga ini, jiwa kita masih belum merasakan ketenangan hakiki dikarenakan keburukan yang pernah dilakukan di masa lalu atau di dua tingkatan sebelumnya. Kita masih merasakan bimbang dikarenakan keburukan yang dulu. Betapapun, hal ini merupakan perbaikan terus menerus menuju kesempurnaan. Sebagaimana atsar Sayyidina Ali as; “orang yang merasa baik itu buruk. Dan orang yang merasa buruk itu baik.” Kita harus bergegas lagi menuju tingkatan jiwa yang paling sempurna, yaitu jiwa yang tenang.
Jiwa yang Tenang (al-Nafsu al-Mutmaiinah)
Bersyukur adalah tanda ketenangan jiwa. Bersyukur berarti mengakui bahwa segala nikmat yang ada merupakan keberkahan dari Allah Swt dan menggunakan nikmat tersebut di jalan Allah Swt. Hanya dengan bentuk pengakuan yang demikian itu, kita menuai ketenangan jiwa. Salah satu langkah untuk mencapai jiwa yang tenang adalah senantiasa mengingat Allah Swt. Karena hanya dengan mengingat Allah Swt, hati menjadi tenang. Itu artinya, pada tingkatan ini, tidak ada lagi keburukan yang tersisa. Yang ada hanyalah kebaikan yang tertuju kepada Allah yang Maha Pemilik Kebaikan.
Mengingat Allah menghilangkan kegelisahan. Karena kegelisahan merupakan kekafiran hakiki. Sebaliknya, senantiasa mengingat Allah merupakan Tauhid sejati. Takut dan sedih bukanlah sesuatu yang ada pada jiwa yang tenang. Ia tidak takut pada masa depan, yang ia takuti hanyalah melanggar perintah Allah Swt. Jiwa yang tenang tidak bergantung pada sebab-sebab material, baik itu harta, tahta, maupun istri dan keturunan. Pada jiwa yang tenang, kita hanya bertambat kepada dan pasrah pada kehendak Allah Swt. Senjata para jiwa yang tenang adalah sabar dan syukur. Sementara sayapnya adalah rasa takut dan harap hanya kepada Allah Swt.
Relasi antara Jiwa dan Jasad
Yang kembali kepada Allah yang Maha Suci adalah jiwa yang tenang. Suatu tingkatan jiwa yang telah disucikan. Itulah mengapa semakin kotor jiwa kita, semakin banyak dan lama proses penyucian yang mesti kita jalani di alam dunia, alam barzakh, dan alam akhirat untuk kemudian dapat kembali kepada Allah yang Maha Suci. Adapun di alam dunia, jasad menjadi wadah bagi jiwa kita. Bahwa mata, telinga, dan indera lainnya hanyalah perantara agar kita memahami Keagungan Tuhan. Bahwa mata hanya melihat benda, jiwalah yang kemudian memahami hakikat benda tersebut. Dan ketika tubuh telah kehilangan ruh atau jiwa, maka tubuh tersebut kemudian disebut meninggal dunia.
Baca juga : Resensi Buku Pandangan Imam Khumaini terhadap Hak-Hak Wanita
Lalu bagaimana dengan tidur? Kemana ruh atau jiwa ketika tertidur? Rasulullah Saw bersabda; “tidur adalah saudara kembar kematian.” Bahwa ketika kita tidur, ruh kita melancong ke perbuatan alam dunia dan alam barzakh. Jika ia kembali ke alam dunia, maka kita terbangun. Jika ia tak kembali ke alam dunia, maka kita meninggal dunia. Itulah mengapa dalam doa bangun tidur kita mengucap syukur kepada Allah Swt yang telah menghidupkan kita setelah mematikan kita. Itulah mengapa pula saat kita bermimpi, kita dapat bertemu dengan mereka yang telah meninggal dunia dan tengah berada di alam barzakh. Namun yang perlu diperhatikan adalah, tidak semua kita yang meninggal dunia akan meninggal dengan kondisi jiwa yang tenang. Bisa saja kita masih dalam keadaan jiwa yang terilhami, jiwa yang mencela, atau justru jiwa yang memerintah. Jika demikian, maka perjumpaan kita dengan Allah masih akan panjang dan lama. Karena jiwa kita mesti disucikan lagi di alam barzakh dan alam akhirat agar kembali dengan suci. Karena hanya jiwa yang tenang yang dapat kembali kepada Allah yang Maha Suci dengan ridha dan diridhai.
One Reply to “Resensi Buku Jiwa Yang Tenang – Abdul Husein Dasteghib”