Judul : Jangan Bunuh KPK
Penulis : Denny Indrayana
Penerbit : Intrans Publishing
Halaman : 218
Denny Indrayana memulai buku ini dari penelitiannya pada Indonesian Corruption Watch dan mengembangkannya menjadi suatu buku. Ia kemudian membahas bukunya ini ke dalam lima pendekatan; yaitu pendekatan historis, pendekatan konseptual, pendekatan komparatif, pendekatan kasus, dan pendekatan perundang-undangan. Tak lupa pula penulis melakukan evaluasi dan desain masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK: Pembunuhan Berulang
Korupsi lebih dulu ada sebelum republik ini berdiri. Adalah pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang ditenggarai sebagai pengawal korupsi di tanah nusantara ini. Namun ada pula referensi yang menyebut bahwa jauh sebelum itu, yakni saat masa VOC (korporasi multinasional asal Belanda) korupsi sudah hadir di bumi Indonesia. Bahkan korupsi pulalah yang membubarkan serikat dagang tersebut hingga digantikan oleh Kerajaan Belanda.
Baca juga : Resensi Buku Kuasa Uang – Burhanuddin Muhtadi
Radhar Panca Dahana bahkan menyebutkan dalam kata pengantar buku Politik antikorupsi, bahwa korupsi sudah ada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sementara itu, pasca kemerdekaan, baru pada tahun 1960 Undang-Undang tentang Korupsi baru pertama kali disahkan oleh pemerinatahan Soekarno.
Hidup matinya kelembagaan antikorupsi di Indonesia mengalami pasang surut. Pada rezim orde lama, telah dibentuk Badan Koordinasi Penilik Harta Benda pada tahun 1958, Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) pada tahun 1959-1962, Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) I pada tahun 1960-1963, Paran II/Operasi Budi pada tahun 1963-1967, hingga Komando Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) pada tahun 1964-1967.
Pada rezim orde baru, kelembagaan antikorupsi dimulai dengan pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967, Komisi 4 pada tahun 1970, Operasi Penerbitan pada tahun 1977-1981, hingga Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1982.
Pada rezim atau era reformasi, kelembagan antikorupsi diawali dengan dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) pada tahun 2000, Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TimTas Korupsi) pada tahun 2005, hingga menyiskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdiri sejak tahun 2003 hingga sekarang. Dengan melihat gradualitas lembaga antikorupsi di Indonesia, pelemahan dan pembunuhan berulaang lembaga tersebut menjadi suatu ambiguitas mengingat pentingnya keberadsaan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa di negeri Indonesia yang kita cintai ini.
Komisi Anti-Korupsi yang Efektif
Menurut Denni Indrayana, terdapat 4 parameter untuk menilai efektivitas komisi anti-korupsi, diantaranya; Pertama, bahwa komisi anti-korupsi tersebut haruslah komisi negara yang independen, dalam artian tidak bergantung pada intervensi dari pihak legistatif, yudikatif, maupun eksekutif. Kedua, komisi anti-korupsi tersebut harus bertumpu pada prinsip-prinsip dasar komisi negara antikorupsi, yaitu mandate, collaboration, permanence, appointment, continuity, removal, ethical conduct, immunity, remuneration, authority over human resources, adequate and reliable resource, financial autonomy, internal accountability, external accountabilty, dan public reporting.
Baca juga : Resensi Buku Penelitian Hukum – Peter Mahmud Marzuki
Ketiga, lembaga anti-korupsi harus rentan akan perbandingan dengan komisi anti-korupsi di beberapa negara. Berdasar dengan lembaga anti-korupsi di negara lain, maka KPK harus memperjelas posisi dalam struktur ketatanegaraan, dasar hukum pembentukannya, kewenangan, anggaran, status penyidik/penuntut umum, dan kantor perwakilannya di daerah-daerah. Keempat, eksistensi lembaga anti-korupsi menurut Putusan Mahkamah Konstitusi. Dari 17 permohonan dan 14 Putusan, dari yang berusaha melemahkan KPK hingga aneka pandangan lainnya, terlihat jelas bahwa Undang-Undang KPK tidak bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Makhkamah Konstitusi.
Meskipun Undang-Undang KPK tidak bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945, bukan berarti ia tidak diubah. Perubahan dimungkikan dengan syarat bertujuan untuk penguatan KPK, misalnya dengan memperkuat dasar hukum KPK menjadi organ konstitusi, meningkatkan SDM KPK misalnya dengan membuat penyidiknya menjadi pegawai tetap, memberikan imunitas terbatas kepada pimpinan dan pegawai KPK untuk menghindarkannya terhadap kriminalisasi, memperbesar alokasi anggaran KPK, mendukung terbukanya kantor perwakilan KPK di daerah sesuai dengan tingkat korupsi di daerah tersebut, dan mendukung sistem pengawasan efektif terhadap KPK tanpa menciderai independenso KPK.[5]
Penutup; Evaluasi dan Desain Masa Depan KPK
Denni Indrayana merumuskan formula komisi antikorupsi yang efektif, diantaranya; adanya jaminan independensi kelembagaan komisi antikorupsi, adanya jaminan kewenangan yang kuat berdasarkan konstitusi, atau paling tidak di dalam Undang-Undang, dan adanya kontrol yang efektif, baik dari internal-personal, internal-institusional, maupun pengawasan eksternal berdasar peraturan perundang-undangan dan prinsip check and balances.
Adapun evaluasi kinerja dan kelembagaan KPK dapat dilakukan melalui pengaduan masyarakat, profesionalitas penanganan perkara, pendataan dan peninandakan tindak pidana korupsi berdasar jenas perkara, jabatan, dan instansi, adanya laporan gratifikasi, adanya laporan LHKPN, akuntabilitas anggaran KPK dan realisasinya, peningkatan sumber daya manusia KPK, dan koorinasi dan supervisi kasus-kasus korupsi.
Baca juga : Resensi Buku Matinya Demokrasi dan Kuasa Teknologi – Jamie Bartlett
Dari hasil pembahasan bukunya tersebut, Denni Indrayana kemudian menyertakan rekomendasi mengenai desain KPK masa depan, yaitu pertama, melakukan penguatan jaminan independensi KPK dengan menjadikan KPK sebagai organ konstitusi, perbaikan mekanisme pemilihan pimpinan, imunitas terbatas bagi pimpinan dan pegawai KPK, memiliki pegawai, penyidik, dan penuntup tetap, dan jaminan ketersediaan anggaran bagi KPK.
Kedua, adanya jaminan kewenangan yang kuat dengan mempertahankan kewenangan KPK dan menguatkan KPK melalui kantor perwakilan. Ketiga, perbaikan sistem kontrol KPK dengan pengawasan internal-personal, internal-insitusional, dan pengawasan eksternal.
One Reply to “Resensi Buku Jangan Bunuh KPK – Denny Indrayana”