Judul : Jangan Bakar Taman Surgamu
Penulis : K.H Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Nuansa Cendekia
Halaman : 120
Buku ini berisi kumpulan catatan Kang Jalal (sapaan akrab penulis) tentang tema besar dalam Islam yakni warak. Dulu saya sering berpikir bahwa semua perbuatan buruk yang kita lakukan akan habis terbayar lunas ketika kita melaksanakan ibadah taraweh diawal ramadhan hingga akhir sebagaimana yang selalu dikhotbahkan para penceramah diatas mimbar. Tapi setelah membaca buku ini saya mendapat satu pandangan baru bahwa bukan amal baik yang menggugurkan amal buruk, sebaliknya amal buruklah yang menggugurkan amalan baik kita. Seseorang mendatangi Ali Zainal Abidin, ia bertanya pada keturunan Rasulullah itu, aku melakukan keburukan tetapi haji, bersedekah, sholat dan ibadah lainnya semuanya aku kerjakan, apakah surga layak untukku? Beliau menjawab, kau berharap surga sedang kau melakukan perbuatan ahli neraka.
Buku berjudul Jangan Bakar Taman Surgamu ini ditulis K.H Jalaluddin Rakhmat. Buku yang diterbitkan oleh Nuansa Cendekia tahun 2017 ini tidak begitu tebal, hanya 120 halaman. Buku ini disajikan dalam bentuk naratif dan disertai kisah-kisah para sufi, sehingga selain menyejukkan hati. Buku ini juga menyenangkan untuk dibaca.
Apa itu Warak?
Untuk mencapai titik takwa tidak cukup hanya dengan beramal saleh. Selama ini, untuk bertakwa kita fokus pada berbuat kebaikan; melakukan shalat, puasa, membayar zakat, haji dan umrah, ditambah shalat malam dan ikut pengajian. Semuanya itu adalah rukun kedua takwa. Kita lupa rukun pertamanya, yakni warak. Warak secara sederhana dapat kita artikan sebagai menghindari untuk melakukan dosa. Kita sering terjebak dalam paradigma populer bahwa amal saleh dapat menghapus dosa-dosa, sebaliknya perbuatan buruklah yang menghapus amalan baik kita. Ketika ditanya mana yang lebih didahulukan melakukan kebaikan atau menghindari keburukan, Sayyidina Ali menjawab dahulukan menjauhi keburukan daripada melakukan kebaikan. Beramal baik tetapi melakukan keburukan (dosa) seperti membangun rumah sembari merusaknya perlahan-lahan.Rasulullah Saw bersabda; ibadah sambil makan yang haram seperti mendirikan bangunan diatas pasir atau air. Dalam hadis lain Imam Ja’far ash-Shadiq berkata; akhlak yang buruk merusak amal seperti cuka merusak madu.
Gugurnya Amalan Baik
Apakah kalian pernah mendapati seorang yang rajin melaksanakan shalat tetapi juga gemar berlaku buruk pada tetangganya atau orang lain yang ia temui? Bukankah shalat itu menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar? Seorang sahabat mendatangi Rasulullah Saw dan curhat pada beliau, tentang temannya yang rajin beribadah tapi berlaku buruk pada tetangganya, Nabi Saw menjawab dengan singkat “ ia berada di neraka “. Idealnya, semakin jauh seseorang tenggelam dalam ritual agama, maka semestinya semakin santun ia pada orang lain, makin hormat pada orang tua dan makin takzim pada guru. Para keluarga Nabi Saw adalah orang yang paling banyak menangis di hadapan Tuhan pada malam hari, sedang disiang hari mereka bekerja dan bersosialisasi dengan masyarakat. Penulis mencatat ada dua perilaku buruk manusia yang bisa menggugurkan amalan baik manusia. Pertama “ujub” perasaan menganggap diri lebih baik dari orang lain. Ujub juga merupakan dosa paling pertama yang dilakukan makhluk, ketika iblis menolak untuk tunduk pada Adam as.
Baca juga : Resensi Buku Beragama dengan Akal Sehat – Agus Mustofa
Kedua Dosa Sosial. Hampir seluruh ibadah mahdah berorientasi pada kepentingan sosial. Zakat misalnya untuk kebutuhan fakir miskin, janda dan pencari ilmu. Puasa , shalat, bahkan haji memilki implikasi sosial. Hal ini membuktikan bahwa Islam bukanlah agama yang melulu bicara tentang hukum, tentang benar salah, tetapi islam adalah agama yang berorientasi pada kemaslahatan umat di dunia dan akhirat.
Perjalanan Amal Kelangit
Tentu menjadi misteri yang oleh manusia penuh dosa seperti kita sulit untuk dipecahkan yakni apakah amalan kita diterima oleh Allah atau tidak. Para manusia suci memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa amalan baik hanya akan diterima ketika kita memenuhi beberapa kriteria.
Kang Jalal mencoba menafsirkan hadis Sayyidina Ali tentang syarat-syarat amalan baik kita diterima. Pertama pendengki. Orang yang dalam hatinya ada dengki pada sesamanya tidak diterima amalan baiknya. Berikutnya adalah penggunjing, seseorang yang dalam keseharian membicarakan keburukan orang lain tidak akan diterima amalannya. Ketiga berbuat Zalim, yakni merampas hak orang lain. Selanjutnya para penghianat, takabur, riya dan yang terakhir adalah orang-orang yang melakukan dosa besar. Jika amalan baik dilakukan tanpa tujuh hal tersebut, maka amalan baik akan melesat kelangit ketujuh. Buku ini bukan hanya menyejukkan hati karena penulis menyertakan ayat-ayat Al-Quran dalam isinya, tetapi juga menyenangkan untuk dibaca karena kisah-kisah sufi dan sahabat Nabi Saw yang tentunya bisa menjadi pelajaran bagi kita.
Baca juga : Resensi Buku Ideologi Kaum Intelektual – Ali Syariati
Bagi para penggemar sufistik ataupun yang sedang melakukan perjalanan salik, buku ini adalah nutrisi yang wajib anda konsumsi. Pendekatan sejarah, hadist dan kisah-kisah yang kemudian dikemas secara naratif membuat buku ini ringan untuk dibaca. Pun ringan, tetapi tidak mengurangii kedalaman makna yang terkandung didalamnya. Untuk menyempurnakan buku ini,kami meyarankan juga untuk membaca buku berjudul Dari Allah Menuju Allah. Sebuah buku yang bergenre sama ditulis Mas Haidar Bagir ( pendiri mizan )