Judul : Isti'adzah
Penulis : Abdul Husein Dasteghib
Penerbit : Al-Huda
Halaman : 270
Dalam melakukan segala sesuatu, Rasulullah Saw mensunnahkan kepada kita untuk memulai dengan Basmalah, dan mengakhirinya dengan Hamdalah. Basmalah sebagai dasar amalan kita yang hanya tertuju pada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hamdalah sebagai wujud syukur dari karunia Tuhan atas ikhtiar yang telah dilakukan. Tapi adakah yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mengucapkan Basmalah?
Perintah Isti’adzah
Perintah Isti’adzah bukan hanya diperintahkan kepada kita sebagai manusia biasa, melainkan pula kepada Nabi Muhammad Saw. Allah Swt berfirman; “Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhanku! Aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan” (QS. Al-Mukminun: 97). Terdapat pula perintah Isti’adzah dalam surah Al-Falaq, An-Nas, dan surah-surah lainnya.
Isti’adzah bukan hanya dilakukan di saat mengaji, melainkan pula dalam seluruh kegiatan peribadahan dan pekerjaan kita sehari-hari. Hal ini dilakukan demi terhindarnya kita dari pengaruh buruk dan gangguan setan yang terkutuk. Isti’adzah kita lakukan kita hendak tidur, mengaji, shalat, puasa, zakat, bepergian, bekerja, berolahraga, membaca, menulis, makan, masuk kamar mandi, hingga sesaat sebelum tidur. Karena tipu daya setan senantiasa tak kenal lelah, lapar, dan tidur untuk menyesatkan kita. Setan bahkan meminta tangguh usia hingga kiamat untuk menyesatkan seluruh manusia, kecuali hamba Allah yang mukhlis.
Jaring-jaring Perangkap Setan
Jaring-jaring perangkap setan dapat tersirat dalam nazar, janji, sedekah, bahkan ibadah semulia shalat. Shalat yang niatnya untuk Allah, dapat berubah menjadi riya’ karena tipu daya setan. Dana bersedekah setan dapat membuat kita menjadi pamrih dan kasar dalam bersedekah. Jika malaikat mempertanyakan penciptaan manusia, kita sebagai manusia mempertanyakan penciptaan setan? Setan diciptakan untuk menguji keikhlasan ibadah yang dilakukan manusia. Sebagai filter antara hamba Allah yang mukhlis dengan hamba setan yang najis.
Setan tercipta dari api. Ia dapat melihat kita, sementara kita tak dapat melihatnya. Jika setan merupakan penghasut eksternal, maka hawa nafsu merupakan penghasut internal. Itulah mengapa setan dan hawa nafsu seringkali berteman karena memiliki beberapa kesamaan. Tapi Al-Qur’an telah meyakinkan kita bahwa meskipun setan merupakan musuh yang nyata bagi kita, tetapi tipu dayanya sesungguhnya sangatlah lemah.
Baca juga : Resensi Buku Beragama dengan Akal Sehat – Agus Mustofa
Jika setan dan hawa nafsu selalu menghasut kita untuk melakukan yang terlarang, sebaliknya, malaikat dan hati nurani serta akal sehat kita justru menyeru kita pada kebajikan. Dikatakan bahwa tipu daya setan teramat lemah, karena setan tidak dapat memaksa. Apalagi hawa nafsu sejatinya dapat dikendalikan oleh akal sehat serta hati nurani. Selain itu, terdapat pula pasukan kebajikan lainnya yang membantu kita untuk berperang melawan setan, diantaranya fitrah Tauhid, teladan Suci Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, petunjuk Al-Qur’an, ajaran para Ulama, hingga buku.
Apalagi pintu taubat selalu terbuka lebar bagi hamba Allah yang ingin bertaubat dan kembali ke jalan Allah Swt. Karena rahmat Ilahi selalu terbuka pula hingga hari akhir.
Berlindung kepada Allah atau Isti’adzah bukanlah sekadar ucapan. Isti’adzah terdiri dari tiga kriteria, yaitu Isti’adzah yang hanya secara lisan saja. Dan Isti’adzah jenis ini merupakan ajang permainan setan. Kedua, Isti’adzah yang disertai dengan pemahaman yang benar tentang makna yang dikandungnya. Namun Isti’adzah batin ini bisa saja belum koresponden dengan amalannya setiap hari. Maka, Isti’adzah yang sesungguhnya adalah Isti’adzah amali, yaitu kesatuan Isti’adzah dari batin, lisan, hingga ketaatan sebagai bukti keinginan berlindung kepada Allah Swt.
Rukun Isti’adzah
Isti’adzah memiliki 5 rukun, menurut Ahmad Husein Dasteghib, diantaranya takwa, tadzakkur (mengingat Allah) tawakal (bersandar pada Allah), ikhlas, dan tawadu (rendah hati). Takwa berarti mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi larangannya. Tapi bagi hamba yang mukhlis, takwa tidak sesederhana itu, melainkan meninggalkan yang haram, yang makruh, yang syubhat (zona ragu-ragu), hingga yang mubah, sembari menyisakan laku hidup yang wajib dan sunnah saja. Lalu dapatkah kita lolos dari perangkap setan dan menjadi hamba yang mukhlis jika kita masih mengerjakan yang haram?
Adapun haram yang dimaksud, baik haram dari segi dzat (misalnya daging babi), maupun haram dari segi cara memperolehnya (mencuri, cara menyembelih, dan sebagainya). Kita harus menjadikan setan sebagai musuh. Salah satu tameng menghadapinya adalah dengan senantiasa dalam keadaan suci, yaitu berwudhu. Senjata lain yang dapat kita lalukan adalah dengan puasa dan sedekah. Sementara tempat mangkal setan yang perlu dihindari atau mengetatkan protokol Isti’adzah adalah di pasar, teman yang buruk, dan perempuan yang bukan muhrim. Memperbanyak mengingat kematian, baik dengan ziarah kubur maupun merenunginya dalam doa, dan juga banyak bertaubat adalah jalan untuk memperkuat protokol Isti’adzah.
Baca juga : Resensi Buku Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-Qur’an – Didi Junaedi
Rukun kedua Isti’adzah adalah tadzakkur. Kita dapat mengingat Allah dengan memahami betapa banyak anugerah yang Allah Swt berikan kepada kita, sementara begitu banyak dosa kita kepada Allah Swt dan makhluk-Nya. Tadzakkur dapat pula dilakukan dengan menepis waswas. Kalau dalam bahasa anak muda, yakni galau dan gundah gulana. Karena galau akan membuat kita menuruti hawa nafsu dan bisikan setan. Istikharah dapat menjadi alternatif untuk menepis keraguan. Jika istikharah merupakan upaya melangit, maka upaya membumi untuk menepis keraguan adalah bermusyawarah. Mintalah nasehat dari seseorang yang lebih bijaksana.
Rukun ketiga Isti’adzah adalah tawakal. Inilah manifestasi dari Tauhid Af’al atau Tauhid Perbuatan. Tawakal melandaskan segala sandaran hanya kepada Allah Swt. Tidak menjadikan sandaran Mahkluk sebagai tumpuan, melainkan sekadar sarana dalam bersandar atau berserah diri kepada Allah Swt. Nabi Muhammad Saw dan keluarganya yang suci kemudian dapat menjadi perantara atau tawassul kita kepada Allah Swt. Mengharap selain Allah akan mengalami keputusasaan. Sementara keputusasaan atas rahmat Allah sebagai sandaran dan bantuan makhluk-Nya sebagai perantara merupakan dua dosa besar yang menghancurkan amalan baik kita.
Tetapi berharap kepada Allah semata bukan berarti kita tidak berikhtiar. Karena Allah Swt membenci penganggur. Tawakal merupakan dimensi awal dan akhir segala perbuatan. Sementara di tengah-tengahnya ada ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw;” barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil.” Percayalah, bahwa amal perbuatan berhubungan dengan Rahmat Allah.
Rukun keempat dari Isti’adzah adalah ikhlas, yang mana merupakan tolok ukur dari perbuatan. Saking pentingnya keikhlasan, Rasulullah Saw bersabda; “jihad melawan musuh Allah adalah jihad kecil, sementara jihad melawan hawa nafsu adalah jihad akbar.” Karena tiada amal tanpa niat, maka niat menjadi pengali yang membuat amal menjadi berarti. Iman tanpa amal baik adalah keangkuhan. Amal baik tanpa iman adalah sia-sia. Iman dan amal baik tanpa ikhlas adalah riya. Maka hanya iman, amal baik yang disertai ikhlaslah yang mendatangkan ketakwaan.
Ibadah mengharap surga, atau ibadah takut neraka bukanlah ibadah yang ikhlas kepada Allah Swt. Harapan akan surga, ketakutan akan neraka, dan motivasi lainnya hanya dapat dijadikan sebagai niat kedua, setelah niat pertama dan utama, Ikhlas kepada Allah Swt. Niat kedua dapat pula disebut sebagai bonus, bukan motivasi.
Baca juga : Resensi Buku Teologi dan Falsafah Hijab – Murtadha Muthahhari
Adapun rukun terakhir dari Isti’adzah adalah tawadu atau merendahkan diri. Inilah konsekuensi dari meminta perlindungan. Sikap rendah hati dapat dilakukan dalam doa, pikiran, ucapan, hingga perbuatan, baik kepada Allah Swt maupun ke sesama makhluk. Apakah alasan kita untuk tidak merendahkan diri di hadapan Allah? Karena ujub, riya’ dan takabur yang ada dalam hawa nafsu kita. Itulah dosa pertama yang dilakukan makhluk, yaitu setan kepada Allah Swt, setelah setan menolak perintah Allah Swt untuk bersujud kepada Nabi Adam as, dikarenakan setan merasa lebih mulia daripada manusia.
Dalam setiap bacaan dan gerakan shalat merupakan isyarat akan ketundukan hamba yang rendah di hadapan Allah yang Maha Tinggi. Lalu bisakah kita merasa tinggi pada sesama makhluk? Sesungguhnya yang membedakan kita di hadapan Allah hanyalah derajat ketakwaan. Dan Penilai yang paling atas derajat ketakwaan tersebut hanyalah Allah Swt. Maka tetaplah rendah hati baik kepada sesama makhluk, apalagi kepada Pencipta Seluruh Mahkluk, yaitu Allah Swt.
2 Replies to “Resensi Buku Isti’adzah – Abdul Husein Dasteghib”