Judul : Filsafat Perempuan dalam Islam
Penulis : Murtadha Muthahhari
Penerbit : Rausyan Fikr Institute, Yogyakarta
Halaman : 167
Resentor : Hartono Tasir Irwanto
Perempuan, dalam buku Fatimah adalah Fatimah karya Ali Syariati, seringkali diasosiasikan dengan sumur, dapur, dan kasur. Pandangan kuno tentunya tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Muthahhari, dalam bukunya yang berjudul Filsafat Perempuan dalam Islam (RausyanFikr, 2014), menyatakan bahwa Islam datang untuk kemudian memberikan keadilan gender dan kemerdekaan bagi perempuan.
Islam kemudian melarang praktik jahiliyah yang masih dilakukan sebagian sahabat, seperti menjodohkan anak bahkan sebelum ia lahir, bertukar anak untuk kemudian dinikahkan silang, dan memaksakan pernikahan yang tidak diinginkan anak perempuan. Memang benar bahwa anak perempuan diharuskan mendapatkan izin atau restu dari ayah sebagai wali, namun jika alasan tidak memberikan restu (alasan menolak) dari ayah merupakan alasan yang tidak syari’i, maka perempuan dapat meminta wali lain untuk menikahkannya.
Lalu, apa alasan hukum Islam mewajibkan adanya izin dari ayah bagi anak gadis, sementara anak lelaki tidak memerlukan izin dari ayah? Hal ini dikarenakan laki-laki yang cenderung kepada nafsu, sementara perempuan cenderung kepada kasih sayang, sehingga membuat lelaki memanfaatkan kepolosan perempuan demi pemenuhan nafsu si lelaki. Itulah mengapa bagi perempuan yang sudah pernah menikah (janda), izin ayah tidak lagi wajib. Hal ini dikarenakan janda tersebut dianggap telah mengetahui karakter laki-laki yang cenderung kepada nafsunya.
Islam dan Tantangan Zaman
Pertanyaannya kemudian, apakah Islam yang melarang kejahilan masyarakat terdahulu, kemudian kini ajaran Islam menjadi tak relevan lagi dan justru menjadi suatu kejahilan pula bagi masyarakat sekarang? Dengan kata lain, adakah garansi bahwa ajaran Islam tetap relevan dengan tantangan zaman, termasuk ajaran Islam tentang perempuan?
Menurut Muthahhari dalam buku Islam dan Tantangan Zaman, alasan mengapa Islam tetap relevan dengan tantangan zaman adalah karena hanya sesuatu yang esensial yang dipermanenkan oleh hukum Islam, sementara yang aksidental diatur secara fleksibel. Selain itu, syariat atau tuntunan agama yang begitu luas juga dapat ditafsirkan oleh para mujtahid dengan metode istinbath hukum yang bernama ijtihad.
Islam bukanlah ajaran yang berkekurangan yang kemudian secara konservatif menganggap bahwa modernitas adalah sesuatu yang salah, sembari menganggap yang terdahulu saja yang mendekati kebenaran. Namun Islam bukan pula ajaran yang berlebih-lebihan yang kemudian secara progresif nan naif menganggap bahwa modernitas adalah sesuatu yang benar, sembari menganggap yang terdahulu adalah kejahilan.
Status Manusiawi Perempuan dalam Al-Qur’an
Jika Plato pernah menyatakan kesyukurannya tidak dilahirkan sebagai perempuan, maka Aristoteles dianggap lebih nyeleneh lagi, dengan pernyataan bahwa perempuan adalah manusia yang belum matang sepenuhnya dibanding laki-laki. Pandangan bias terhadap perempuan tersebut berurat berakar dalam tradisi Barat, mulai dari Yunani hingga Barat Modern.
Belakangan ini, Barat kemudian merevisi pandangannya dengan dukungan terhadap keadilan gender yang sudah dilegitimasi oleh Islam sejak 1400-an tahun yang lalu. Barat kemudian menyusun tahapan feminisme ke dalam; fase perbudakan perempuan, fase pemberontakan kaum perempuan,
fase upaya persamaan hak-hak perempuan, fase keadilan gender yang Barat klaim telah mereka dapati di era modern ini.
Perbedaan Perempuan dan Laki-Laki
Hanya saja, Barat keliru jika menganggap bahwa keadilan gender berarti persamaan antara perempuan dan lelaki. Kita tentu paham bahwa equality bukan berarti egalite. Bahwa persamaan bukanlah keseimbangan. Sebagaimana kata Aristoteles bahwa keadilan dapat dipahami secara distributif (keseimbangan), dapat pula secara komutatif (persamaan). Tidak semua persamaan hak antara perempuan dan laki-laki melahirkan keadilan gender.
Secara biologis dan psikologis, laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Maka, memaksakan persamaan, sementara kedudukan asali keduanya tidak sama, justru melahirkan diskriminasi, alih-alih keadilan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan perbedaan kedudukan asali keduanya, setidaknya pada aspek biologis dan psikologis. Dan perbedaan tersebut bukannya diskriminasi, melainkan diferensiasi agar keseimbangan dan keadilan tetap terjaga.
Baca juga : Resensi Buku Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-Qur’an
Penutup
Buku ini direkomendasikan bagi mereka yang mendaku sebagai aktivis feminisme (pejuang hak-hak perempuan), baik laki-laki, apalagi perempuan. Moment of Lift-nya Melinda Gates juga menarik untuk referensi mutakhir, walaupun tentunya bias Barat. Sementara untuk pandangan Ulama Muslim lainnya yang juga menulis tentang tema perempuan antara lain buku Fatimah adalah Fatimah dari Ali Syariati, maupun Tafsir Perempuan dari Ali Asghar Engineer.
4 Replies to “Resensi Buku Filsafat Perempuan dalam Islam – Murtadha Muthahhari”