Resensi

Resensi Buku Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer

Bumi Manusia adalah sebuah Roman yang lahir dari tangan yang hampir sebagian hidupnya dihabiskan di balik jeruji dengan status sebagai tawanan adalah...

Written by Jari Telunjuk · 6 min read >
resensi buku bumi manusia, buku bumi manusia, pramoedya ananta toer, review buku bumi manusia, resensi buku
Judul 		: Bumi Manusia
Penulis		: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit	: Lentera Dipantara
Halaman		: 538
Resentor	: Resensi Institut
resensi buku bumi manusia, buku bumi manusia, pramoedya ananta toer, review buku bumi manusia

Resensi Buku Bumi Manusia – Bumi Manusia adalah sebuah Roman yang lahir dari tangan yang hampir sebagian hidupnya dihabiskan di balik jeruji dengan status sebagai tawanan adalah Pramodya Ananta Toer yang singkatnya adalah Pram. Pram yang lebih dikenal dunia sastra lewat tertalogi-nya ini. Membicarakan Pram dengan mang-absen-kan tetralogi Pulau Buru seakan mengurangi nikmat ereksi  liukan tangan dan pemikiran Pram berhadapan dengan kertas.

Buku Bumi Manusia merupakan buku pertama dari tetralogi ini. Bila ditarik pada hubungan darah seorang manusia, buku inilah kakak tertua dalam lingkaran persaudaraan yang kelak menjadikan adik-adiknya semakin ingin lebih maju dari kakak-nya. Bumi Manusia-lah yang menjadi pemicu mengapa ketiga adik-nya harus dihadirkan kepangkuan setelah menghabiskan jam dan hari bersama Bumi Manusia.

Berlatar belakang abad 18 kisaran tahun 1989 sampai 1918 di Wonokromo dan beberapa tempat lainnya di sekitar Wonokromo yang saat ini dikenal dengan Jawa Timur, novel ini menceritakan tokoh Mingke, seorang pemuda keturunan Jawa yang merupakan pribumi tulen. Label pribumi inilah menjadikan Mingke sebagai kepuasan mengolok bangsa Eropa pada saat itu jika bertemu dengan kaum pribumi yang bila diibaratkan Mingke adalah bantalan busur target olahraga panahan yang peserta lombanya adalah orang-orang eropa lalu vanue-nya di Indonesia, otomatis tuan rumahnya adalah Mingke, seorang pribumi. Seorang pribumi yang seharusnya menjadi tuan rumah dimana tamunya harusnya menjaga sopan laku santun malah tetapi hanya menjadi kuli Vanue.

Mingke sendiri adalah nama yang melekat pada-nya merupakan hasil olokan bangsa yang pada kisaran waktu itu melahirkan silogis jika mereka adalah bangsa  sempurna sehingga mereka kurang tanpa penindasan dan kuasa yaitu dari kata Monkey-artinya monyet-Mingke adalah plesetan kata dari kata kandung Mongky. Kata Monkey disini pun adalah semacam apa yang ditangkap Pram jika bangsa Eropa memandang bangsa lain tak ubahnya sebangsa monyet  secara teori evolusi Darwin belum klimaks dan Eropa adalah bangsa yang telah mencapai klimaks hingga sampai pada tujuan penciptaan manusia jika manusia diciptakan untuk menguasai dunia seperti yang dibicarakan Ismael-seekor gorilla- dengan pria tanpa nama pada buku yang ditulis Danile Quinn berjudul Ishmael pada tahun 1992 dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Erwin Y. Salim.

Mingke sendiri merupakan seorang anak nigrat yang dalam budaya jawa memiliki strata sosial  tinggi karena itu pula Mingke menjadi salah satu murid di H.B.S (Hogere Burger School). H.B.S adalah sekolah yang setara dengan pendidikan Menegah Atas atau SMA dan pada saat itu tak semua anak boleh bersekolah di sekolah itu dan yang boleh adalah mereka Eropa dan bilapun pribumi ingin merasakan kakinya menginjak yang namanya sekolah mereka harus memiliki latar belakang  sekurang-kurangnya anak pejabat.  jika sekarang ini, tak semua orang mampu mengenyam pendidikan karena pendidikan menukik tinggi dan orang-orang yang mampu menjamahnya adalah orang-orang bercukupan harta dan tahta. Lalu apa bedanya dengan sistem pendidikan di Indonesia pada abad 18 menuju 19 dengan sekarang ini? Pastilah bedanya banyak, salah satunya halaman parkir sesak dengan motor dengan mobil.

Ada beberapa tokoh yang menjadi fokus utama dari alur Bumi Manusia, yaitu Mingke, Annelis Mallema, Nyai Ontosoroh, William Mallema, Robert Mallema, dan Darsam. William Mallema adalah seorang Eropa yang meng-undik Nyai Ontosoroh seorang pribumi tulen. Dari buah Rahim Nyai Ontosoroh Annelis dan Robert berasal hingga keduanya menyandang marga Mallema.

Nyai Ontosoroh  statusnya sebagai gundik. Kata Nyai berkonotasi gundik-istri tidak sah-status gundik bagai status kutukan sosial yang tidak memiliki masa depan yang jelas-tetapi Nyai Ontosoroh bukanlah gundik pada umumnya yang ketika menjadi gundik maka secara umumnya hanya berfokus pada kehidupan sebatas telanjang diatas ranjang melainkan Nyai Ontorosoh adalah pribadi yang kuat, pekerja keras, memiliki pandagan hidup sebagai perempuan kelas eropa yang tidak semua pribumi memiliki pandagan tersebut, masa depan dirinya  dan buah rahimnya, dan seorang perempuan yang tanpa memiliki pendidikan formal tetapi memiliki pengetahuan melampaui pendidikan saat itu. Nyai Ontosoroh adalah orang yang mencintai buku, beberapa pandangannya kepada dunia tak lepas dari kegiatan ber-buku-nya yang merupakan buku koleksi William Mallema.

Annelis Mallema adalah buah penggambaran imajinasi liar Pram sebagai tawanan sehingga begitu lihai menggambarkan seorang perempuan. Digambarkan sebagai perempuan dengan umur belasan tahun dengan garis darah turunan eropa-Indo yang menghadirkan penggabungan perawakan Eropa William Mellema dan Pribumi Elok Nyai Ontosoroh yang keduanya masing-masing dipengaruhi musim bangsanya sehingga Annelis adalah buah seni musim gabungan panas,salju,semi,gugur,hujan hingga tak salah jika Ratu Netherland yakni Ratu Wilhelmina berada beberapa tingkat dibawah Annelis dalam ranah elok rupa. Kecantikan Annelis merupakan buah liar imajinasi Pram membawa pembaca jika Annelis adalah tokoh yang tak seharusnya terembeli oleh kata, bahkan Pram sendiri  hanya mampu memberikan rentetan kalimat dasar perihal Annelis. Tetapi tak lama lagi, imajinasi yang terjaga kuat dalam ingatan fantasi pembaca yang pernah bersua dengan Annelis dalam sabana aksara Bumi Manusia dimana Annelis masih berupa deretan kata tanpa rupa akan runtuh dan lebur karena Mawar Eva De Jongh akan menjadi pemeran tokoh Annelis dalam film Bumi Manusia yang digarap sutradara Hanung Bramantyo.

Annelis dalam alur cerita adalah orang yang lebih mengikut pada kepribadiaan Ibunya-Nyai Ontosoroh dan lebih bangga sebagai seorang pribumi mengingat dirinya mengalir darah eropa-indo hal yang berbanding terbalik dengan abangnya-Robert Mallema. Robert Mallema yang juga pada dasarnya adalah campuran eropa-indo lebih bangga dengan eropa bahkan mengutuk darah indo-pribumi yang mengalir dalam dirinya dimana darah itulah juga yang menjadikan alasannya tidak mengalami anemia.

Robert memiliki pandangan yang sama dengan Eropa umumnya yang menganggap pribumi berada pada kelas bawahnya hingga baginya tak pantas memiliki hubungan yang dekat dengan pribumi.

William Mallema adalah seorang Eropa tulen,pengusaha gula dengan nama perusahaan Boerderij Boeitenzorg. perusahaan inilah yang juga mempertemukan dia dengan Nyai Ontosoroh dimana orang tua Nyai Ontosoroh merupakan buruh di  Boerderij Boeitenzorg. kerana statusnya sebagai bos dan perilaku sosial eropa di Hindia Belanda adalah mencari perempuan yang telah sampai umur mengandung untuk dijadikan gundik sekedar pelepas dahaga kelamin tanpa pernikahan sah maka Nyai Ontosoroh masuk dalam lingkar kegilaan geliat urat Eropa. Hari-hari William Mallema bukanlah berada  dirumah mengurusi anak,istri, dan pekerjaan tetapi dihabiskan pada rumah singgah-rumah prostitusi.

Karena itulah, Nyai Ontosoroh menjadi pribadi yang kuat dan pekerja keras. Nyai adalah pemimpin rumah tangga menggantikan posisi yang seharunya diampuh oleh William Mellema. Tetapi Nyai Ontosoroh tidak sendiri. Nyai Ontosoroh di temani oleh Darsam. Darsam adalah keturunan Madura yang menjadi pesuruh Nyai Ontosoroh dan dapat dikatakan sebagai pengawal pribadi Nyai Ontosoroh. Karena kepribadian Nyai Ontosoroh kepada Darsam hingga Darsam berjanji pada dirinya jika darahnya halal tumpah untuk Nyai Ontosoroh dan Annelis.

Baca juga : 13 Rekomendasi Buku Hukum Terbaik Untuk Mahasiswa Dan Pemula

Buku  setebal 416 halaman ini yang diterbitkan oleh hasta mitra dimana pertama kali terbit di tahun 1980 yang setahun kemudian dilarang terbit oleh jaksa agung dimana pada tahun terbitnya mencapai cetak hingga 10 kali lalu diterbitkan kembali oleh Lentera Dipantara yang dimana buku ini telah diterjemahkan dalam 33 bahasa lebih menceritakan sebuah cinta seorang Mingke yang juga seorang penulis dengan nama pena Max Tolenaar dalam menyampaikan kritik-kritiknya dengan Annelis Mallema, perjuangan Nyai Ontosoroh mendidik Annelis untuk mengolah Boerderij Boeitenzorg, perjuangan Mingke dan Nyai Ontosoroh melawan hukum eropa yang berlaku.

Pertemuan Mingke dengan Annelis perantarai tokoh Robert Surhof yang mengajaknya berkunjung kerumah keluarga Mallema di Boerderij Boeitenzorg.  Robert Surhof adalah kawan dari Robert Mallema yang jatuh cinta dengan Annelis. Tetapi ajakan itu berbuah petaka hati bagi Robert Surhof dan manis hati bagi Mingke. Cinta pandangan pertama adalah cinta yang dibawa pulang Mingke sekembalinya dari sana dan cinta itu pula yang dibawa tidur oleh Annelis setelah matanya beradu pandang dan menemukan titik temu pada ruang dimana mereka berjumpa pertama kali.

Setelah pertemuan itu, Mingke berjanji setelah kecupan mendarat tak pelan dan tak kencang pada bibir Annelis jika Mingke akan kembali lagi ditempat itu. Tetapi beberapa hari minggu yang berlalu, Mingke tak kunjung datang hal yang membuat Annelis tak bergairah dan jatuh sakit hingga Nyai Ontosoroh meminta bantuan Darsam untuk mencari Mingke dan memberitahu keadaan Annelis kepada Mingke. Seperti itulah melowdramatis percintaan yang digambarkan Pram.

Hari-hari setelah bumbu pertama liku percintaan, kisah Mingke dan Annelis semakin dekat. malam-malam yang dilalui ditutup dengan adengan Annelis yang tertidur dengan hantaran cerita-cerita yang dituturkan Mingke pada malam-malam Annelis.

Hingga keduanya menikah dan konflik pertama dimunculkan oleh masterpiece Pram  jika Annelis memiliki kejadian yang suram dengan abangnya Robert dimana pada suatu waktu Robert yang dikuasai nafsu melihat Annelis yang merupakan adiknya sendiri sampai di titik dimana nafsu itu mendidih dikepalanya. Robert mengajak Annelis berkuda di sekitaran Boerderij Boeitenzorg sebagai prolog yang endingnya dimana ruang wanita Annelis dapat mendinginkan apa yang mendidih dikepalanya.

Kejadian itu diceritakan Annelis kepada Mingke di malam keduanya telah menikah, Mingke yang dihadapkan kenyataan dimana gadis tempatnya berteduh adalah keserakahan urat yang tak mengenal ikatan darah. Pada titik inilah, Mingke tampil sebagai pemenang dimana masa lalu bukanlah perihal terpenting karena setiap manusia memiliki masa lalu yang kadang didalamnya terjadi diluar kuasanya.

Konflik lainnya yang merubah drastis novel ini adalah ketika mereka diperhadapkan dengan hukum dimana hak asuh Annelis jatuh ketangan istri William Mallema yang sah di Belanda yang pernikahannya dengan Mingke tak diakui secara hukum dan juga Nyai Ontosoroh bukanlah isri sah William Mallema karena hanya gundik hingga Annelis harus berangkat ke Belanda meninggalkan tempat yang dikenalnya sedari mulai mampu mengenal dan berinteraksi ke negeri antah.

Hal ini tak mampu diterima Annelis secara akal dan perasaan. Pergi meninggalkan rumah, Ibunya dan tempat hatinya berteduh. Hingga keadaan Annelis bukan lagi Annelis yang dikenal oleh Mingke. Kini Annelis hanyalah seonggok daging bernama yang kehilangan nafsu hidup.

Disinilah awal Mingke tak lagi sepenuhnya mengagumi Belanda. Apa yang dialaminya dengan Annelis dengan Nyai Ontosoroh membuka matanya terhadap apa yang senyatanya dikagumi olehnya selama ini. Belanda mengilhami alasan perjuangan Mingke melawan dan menolak tunduk pada diskrimintif dan watak rasial negeri penjajah.

Perjuangannya membela haknya, menggerakkan mereka yang berhati merasa apa yang dialami Mingke sebagai sesuatu yang tidak adil lantas perjuangannya bukan hanya dia dan Nyai Ontosoroh yang telah dianggapnya sebagai ibu dan guru sejak perjumpaan pertamannya tetapi hampir seluruh masyarakat Wonokromo memberikan dukungan moral kepada Mingke.

Tetapi apalah daya. Hukum tetaplah hukum dan pribumi bukan bagian dari hukum eropa yang berlaku pada saat itu. Annelis harus tetap berangkat ke Belanda dengan hidup tak lagi bernafsu dan Mingke dan Nyai Ontosoroh kehilangan harapan dalam sistem yang memang tak mengatur perihal apa yang diharapkannya. Tragis!

Baca juga : 6 Buku Karya Douwes Dekker Terpopuler Sarat Sejarah

Inilah buku yang memberikan bagaimana nenek moyang kita diperlakukan dulunya di tanahnya sendiri. Sejarah bangsa yang harus terus dirawat sebagaimana Pramodya Ananta Toer merawat dengan menuturkan cerita-cerita yang ditulisnya secara lisan sebelum menjadikan sebuah buku kepada teman-teman senasibnya yang tertawan agar penerus bangsanya tak lupa dari kesakitan mana dia-mereka berasal dan tumbuh bukan sebagai bangsa yang sakit dan pelupa.

Written by Jari Telunjuk
Tukang jaga di jaritelunjuk Profile

One Reply to “Resensi Buku Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *