Non Fiksi, Resensi

Resensi Buku Beragama dengan Akal Sehat – Agus Mustofa

Buku ini mengajak kita untuk menggunakan akal kita dalam beragama. Sehingga kita tidak beragama dengan cara dogmatis apalagi menjadi liberal dalam beragama....

Written by Jari Telunjuk · 5 min read >
Judul 		: Beragama dengan Akal Sehat 
Penulis		: Agus Mustofa
Penerbit	: Padma Press 
Halaman		: 264 
Beragama dengan Akal Sehat

Buku ini adalah serial diskusi tasawuf modern yang ke-20 yang ditulis oleh Agus Mustofa dan diterbitkan oleh Padma Press, Surabaya tahun 2008. Buku ini terdiri dari 264 halaman dan 6 bab pembahasan yaitu Agama Vs Dogmatisme; Agama Vs Liberalisme; Agama Vs Atheisme; Agama Vs Spiritualisme; Agama Vs Sains; dan Agama adalah ‘Akal Sehat’.

Agus Mustofa adalah lulusan Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gadjahmada Yogyakarta. Ia juga mantan wartawan Koran Jawa Pos. Tipikal pemikiran yang unik pada dirinya, yang disebutnya sebagai ‘Tasawuf Modern’ merupakan perpaduan antara ilmu tasawuf dan sains. Menurut saya ini adalah salah satu bentuk tafsir kekinian untuk memahami Al-Quran.

Seperti judulnya, buku ini mengajak kita untuk menggunakan akal kita dalam beragama. Sehingga kita tidak beragama dengan cara dogmatis apalagi menjadi liberal dalam beragama. Karena akal manusia jika digunakan dengan benar maka akan membuat kita mendekati pemahaman kebenaran sejati. Sehingga sains dan spiritualitas akan memperoleh wilayah pembuktian dan orang yang menggunakan akalnya dalam beragama maka tidak akan mungkin menjadi atheis. 

Agama Vs Dogmatisme

Entah sejak kapan Islam dibelenggu oleh dogmatisme. Padahal al Qur’an tidak mengajarkan dogmatisme itu, dan Rasulullah SAW pun tidak meneladankannya. Dogmatisme adalah cara beragama dengan ‘memaksakan’ kehendak dan tidak ada peluang untuk berbeda pendapat. Pengikutnya harus diseragamkan. Jika berbeda maka mereka harus dicuci dulu otaknya –brainwashing-. Dogmatisme berlawanan dengan fitrah manusia. Islam sebenarnya adalah agama yang sangat menentang dogmatisme. Islam tidak mengenal pemaksaan. Islam juga tidak mengenal penyeragaman. Sebaliknya, sangat menghargai perbedaan. Karena semua itu memang fitrah manusia.

Masalah besar lainnya yang membelenggu umat Islam adalah panutan dan ketokohan. Entah pula mulai kapan umat Islam sangat mengagung-agungkan tokoh dan pimpinan kelompoknya, serta guru-gurunya. Kita tidak menjumpai hal itu diajarkan di dalam al Qur’an. Juga tidak diteladankan oleh Rasulullah SAW. ‘Tokoh sentral’ yang diajarkan di dalam al Qur’an satu-satunya adalah Allah.

Baca juga : Resensi Buku Dari Filsafat Ke Filsafat Teknologi – Yesaya Sandang

Terjebak masa lalu dengan ungkapan bahwa umat terdahulu adalah lebih baik dibandingkan dengan umat yang kemudian. Menurut Agus Mustofa, ini tidak sepenuhnya benar. Tetapi, kalau dikatakan bahwa umat di zaman Rasulullah masih hidup adalah lebih baik dibandingkan zaman setelah beliau wafat maka ia sependapat. Sayangnya umat Islam belum menyadari dan masih terjebak oleh belenggu masa lalu ketika para toko Islam saling berebut kekuasaan, dan berebut ‘kebenaran’ yang diklaim sebagai miliknya pribadi. Padahal kebenaran itu datangnya dari Allah. Dan telah diturunkan serta diwariskan dalam bentuk kitab Al Qur’an.

Di tangan siapakah kebenaran berada? Apakah di tangan penguasa? Apakah di tangan ilmuwan? Apakah di tangan agamawan? Apakah di tangan rakyat dan umat? Apakah di tangan ‘pembela kebenaran’? Apakah di tangan Tuhan?. Sepanjang usianya manusia selalu mencari kebenaran, karena memang fitrahnya demikian. Sayangnya, proses pencarian itu seringkali disertai oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat egois, personal maupun kelompok. Sehingga terjadi perebutan kebenaran. Ketika sudah dibinkai oleh kepentingan, maka kebenaran pun menjadi hanya benar buat orang-orang yang diuntungkan oleh ‘kebenaran’ itu.

Agama dan Liberalisme

Sudah sekitar 260 tahun terakhir dunia internasional memiliki ideology bernama Liberalisme. Faham yang lahir di abad ke 18 itu kini menyesap secara luar biasa ke dalam sendi-sendi kehidupan berbagai bangsa dan negara. Merasuk ke dalam wilayah politik, ekonomi, budaya, bahkan agama. Liberalism telah menjadi trend yang begitu meluas di zaman mutakhir dan sangat kuat mewarnai kehidupan manusia di seluruh penjuru Bumi.

Pada awalnya Liberalisme adalah gerakan politik kelas menengah untuk melawan dominasi penguasa. Baik dalam bentuk kekuasaan kerajaan, peranan sentral gereja, maupun pengaruh bangsawan dan para elit politik. Itu tergambar dari bahasa latin, Liber yang bermakna ‘bebas dari perbudakan’. Jika diformulasikan ide-ide pokok di dalam faham liberalism, di antaranya adalah (1) pengakuan hak-hak individu, (2) kebebasan berpikir, berpendapat dan memperoleh informasi, (3) pembatasan peran pemerintah terhadap hak-hak individu, (4) sistem pemerintahan yang transparan, dan (5) penerapan hukum yang jelas dan adil.

Liberalisme telah berhasil menguasai wilayah politik dengan dipakainya dan diterimanya sistem demokrasi dalam sistem pemerintahan dibeberapa  negara sampai-sampai ada beberapa negara yang menjadi negara sekuler. Liberalisme juga telah menguasai wilayah ekonomi dengan membentuk mekanisme pasar bebas yang sangat kapital. Liberalisme juga ingin menguasai wilayah budaya dengan cara mempengaruhi pola pikir dan budaya melalui pendidikan anak-anak dan murid sekolah.

Liberalisme melawan pegaruh agama dalam seluruh penjuru aktivitasnya. Kenapa? Karena agama adalah lawan utama Liberalisme. Agama bertumpu pada pengorbanan kepentingan yang bersifat egoistic, membangun kebersamaan sosial, dan memupuk ketaatan serta keikhlasan beribadah kepada Tuhan. Sebaliknya, liberalism justru bersandar pada kebebasan, keserakahan pribadi, membangun kepentingan individu-individu, serta memupuk aktivitas-aktivitas berdasar hitung-hitungan untung rugi secara ekonomi.

Agama Vs Atheisme

Di negara-negara maju, dimana Liberalisme berkembang subur, terjadi trend pendangkalan kehidupan beragama. Bahkan menuju pada pemurtadan yang ditandai berkembangnya atheism terang-terangan maupun samar-samar. Kenapa demikian? Karena agama yang mereka anut tidak bisa memberikan jawaban atas apa yang mereka cari dalam kehidupan.

Agama yang dominan di negara-negara itu adalah Nasrani. Dana, kalau And abaca dalam berbagai media, Anda akan memperoleh data bahwa agama Nasrani semakin ditinggalkan di negara-negara tersebut. Memang begitulah trend yang terjadi sejak beberapa dekade terakhir. Pola dakwah yang dogmatis, kekuasaan gereja yang berlebihan, serta pertentangan agama dengan data-data ilmu pengetahuan telah mendorong umat Kristen untuk meninggalkan agamanya. 

Baca juga : Resensi Buku Teologi dan Falsafah Hijab – Murtadha Muthahhari

Ketika ada pertanyaan apakah kita perlu beragama?, jawabnya tidak bisa hanya berdasarkan trend pertumbuhan pemeluknya yang semakin besar. Demikian pula pertanyaan kenapa beragamanya harus Islam? Juga tidak bisa hanya berdasar angka-angka bahwa pertumbuhann pemeluk agama Islam mengalahkan trend agama mana pun, termasuk Nasrani. Jawabannya, harus lewat argumentasi-argumentasi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan itulah yang diajarkan oleh Islam lewat berbagai ayat-ayat yang mengajak kita untuk melakukan pembuktian-pembuktian terhadap kebenaran ajaran Islam, sejak zaman Ibrahim sampai sekarang.

Maka, Allah memberikan statement terbuka kepada siapa saja, bahwa jika manusia mencari Tuhan yang sesungguhnya yang menciptakan dan menguasai alam semesta ini, tidak ada jawaban lain: pasti Allah. Jika mereka menemukan yang selain Allah, dikatakan kepada mereka: tunjukkan alasannya. 

Agama Vs Spiritualisme

Di abad mutakhir ini, spiritualisme berkembang luar biasa. Salah satu alasanyya, manusia mulai merasa bosan dan jenuh dengan berbagai urusan yang bersifat materialistic. Mereka ingin masuk ke dalam suasana hidup yang lebih tenang, damai dan membahagiakan.

Dan semua itu mereka dapatkan dengan menjalani praktek-praktek spiritualisme, yang lebih mengutamakan peningkatan kualitas jiwa. Bukan lagi sekedar mengejar harta berlimpah tanpa kenal waktu atau memburu kekuasaan politik tanpa kenal batas yang seringkali menggunakan segala cara dan jalan kekerasan yang menyengsarakan. Atau pun berbagai perilaku hedonistik yang sekedar memuaskan syahwat.

Mereka merasa menemukan kenikmatan dengan kembali ke alam, setelah setiap hari bergelut dengan hingar bingar mesin-mesin industri, atau dentuman sound system dan kilatan lampu panggung puluhan ribu watt atau pertengkaran politik yang tiada habisnya. Menyatu dengan alam lewat meditasi dipilih sebagai cara efektif untuk menenangkan batin mereka.

Bagi yang tidak memiliki kesempatan untuk pergi menyepi dan menyatu dengan alam, mereka menciptakannya lewat suasana buatan. Cukup masuk ke dalam suatu ruangan yang kedap suara, lantas mendengarkan bunyi-bunyian yang sudah deprogram secara elektronik. Ini adalah teknik meditasi kembali ke alam secara instan. Tujuannya adalah memanipulasi otak untuk mencapai gelombang Alfa.

Ada beberapa orang yang sudah tidak puas dengan meditasi kembali ke alam dan menggunakan teknologi buatan untuk memperoleh ketentraman, ia membutuhkan pencerahan batin tentang makna kehidupan. Bagi mereka, spiritualitas bukanlah sekedar ritual belaka. Melainkan lebih kepada memahamai ‘apa’, ‘siapa’, ‘bagaimana’ dan ‘kemana’ kehidupan ini mau dibawa. Mereka ingin mencari hakikat hidup, karena sudah jemu dengan segala kesenangan materi yang membosankan.

Trend semacam ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada kalangan Liberal atau pun atheis, tetapi juga terjadi pada kalangan beragama yang tidak menemukan substansi beragamanya. Dikalangan Nasrani, Yahudi, Hindu, Budha, bahkan Islam banyak sekali para pencari jati diri kehidupan yang merasakan hal itu.

Mereka yang menjalani agamanya hanya sebagai ritual belaka, pasti mengalami kekosongan jiwa. Mereka tidak paham apa yang mereka lakukan dengan agamanya. Dan tidak merasa memperoleh manfaat atas apa yang dilakukan-nya. Kecuali hanya sebagai kewajiban yang jika tidak dilakukannya, ia diancam dengan dosa dan dimarahi Tuhannya dan lantas dimasukkan ke dalam neraka.

Agama Vs Sains

Bukti adalah alasan paling kuat untuk meyakinkan seseorang. Kalau bukti-buktinya jelas dan tak terbantahkan, maka tidak ada lagi alasan bagi seseorang untuk tidak mempercayainya. Maka, jangan heran di era modern yang berbasis pada sains dan teknologi ini, kita sering berhadapan dengan orang yang meminta bukti-bukti atas kebenaran sesuatu. Jika tidak terbukti, mereka akan menganggapnya sebagai omong kosong belaka termasuk dalam beragama.

Siapakah yang mewajibkan kita untuk belajar agama dimulai dari keyakinan? Sedangkan belajar sains dimulai dari keraguan? Belajar apa pun awalnya pasti berangkat dari keraguan. Setelah ragu kalau muncul benar akan muncul kepercayaan. Setelah percaya kalau ada bukti kuat barulah muncul keyakinan. Nah, diatas keyakinan itulah muncul keimanan –yakin yang seyakin-yakinnya.

Baca juga : Resensi Buku Filsafat Perempuan dalam Islam – Murtadha Muthahhari

Proses yang demikian muncul dalam bidang apa saja. Tidak ada bedanya antara agama dan sains. Siapa bilang menjalani agama harus dimulai dengan keyakinan? Jangankan kita, orang biasa, Nabi Muhammad saja sempat ragu-ragu terhadap wahyu yang diterimanya. Benarkah itu wahyu ataukah sekedar halusinasi.

Akan tetapi sebenarnya, ilmu pengetahuan –sains- maupun agama tidak selalu berangkat dari keragu-raguan. Bisa saja berangkat dari keyakinan, dan kemudian dibuktikan secara empirik. Dan bisa pula berangkat dari keingintahuan. Jadi, secara substansial sebenarnya tidak ada pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan alias sains. Khususnya, antara agama Islam dengan sains.

Agama adalah Akal Sehat

Banyak yang rancu dalam memahami kecerdasan dan akal. Dan kemudian membagi-bagi kecerdasan seseorang dengan kecerdasan seseorang dengan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Atau, ada juga yang membaginya sebagai kecerdasan otak dan hati atau kecerdasan lahir dan batin.

Islam sebagai agama benar-benar membuka diri untuk menjadi agama penyelamat peradaban manusia yang kini sudah terlihat semakin amburadul. Kekacauan yang disebabkan oleh orang-orang di luar Islam yang serakah dan mementingkan diri sendiri, dan juga oleh orang-orang Islam yang tidak mengerti ajarannya sendiri. kedua-duanya adalah sumber bencana dalam kehidupan manusia.

Sekarang waktunya untuk mengajak umat manusia melakukan dialog secara terbuka. Jangan lagi memaksa-maksakan kehendak dengan keperkasaan militer, kekuatan ekonomi dan kehebatan informasi. Semua itu hanya akan menghasilkan kemenangan semu yang sementara. Mereka yang kuat secara ekonomi boleh jadi akan menguasai dunia dengan kekuatan raksasanya tetapi mereka tidak akan pernah bisa langgengkan perbudakannya atas manusia dan memaksa orang-orang untuk bertekuk lutut di kaki kekuasannya.

Written by Jari Telunjuk
Tukang jaga di jaritelunjuk Profile

3 Replies to “Resensi Buku Beragama dengan Akal Sehat – Agus Mustofa”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *