Judul : Pendidikan Yang Berkebudayaan
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 444
Tidak semua orang yang mengajar disebut sebagai pendidik. Karena mengajar hanyalah proses transformasi pengetahuan dari pengajar kepada yang diajar, sementara mendidik adalah proses aktualisasi seluruh potensi diri peserta didik oleh pendidik. Mengajar hanya dapat dilakukan oleh mereka yang terpelajar, inilah yang disebut sebagai pengajar sejati. Begitupun dengan mendidik, hanya dapat dilakukan oleh mereka yang terdidik, inilah yang disebut sebagai pendidik sejati. Dan pendidik sejati tersebut hanya dapat terjadi jika pendidikan yang diaktualisasikan adalah pendidikan yang berkebudayaan.
Apa Itu Pendidikan yang Berkebudayaan?
Sebelum mendefinisikan pendidikan yang berkebudayaan, terlebih dahulu harus diketahui definisi dari kebudayaan. Kebudayaan berasal dari kata dasar budaya, yaitu budi dan daya. Budi artinya kebaikan atau keluhuran, sementara daya artinya kemampuan, sehingga budaya atau kebudayaan merupakan segala hal yang berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melahirkan cipta (pikiran) rasa (keindahan), dan karsa (kemauan). (Yudi Latif, Pendidikan Yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2020, hal 171.) Pendidikan yang berkebudayaan adalah pendidikan yang mengubah manusia menuju arah yang lebih baik. Pendidikan yang memanusiakan manusia, kata Ki Hadjar Dewantara. Atau pendidikan transformatif, kata Yudi Latif. (Ibid, hal 237.)
Menurut aliran Empirisme seperti yang dipelopori John Locke dan David Hume, mendidik manusia tak ubahnya seperti tabula rasa, kertas kosong yang baru mau dilukiskan warna-warna pengetahuan ke atasnya. Berbeda dengan empirisme, Plato mengklaim bahwa manusia telah memiliki pengetahuan di alam idea. Tugas pendidik hanyalah membantu peserta didik untuk melakukan pengingatan kembali atas pengetahuan yang dilupakan di alam materi.
Baca juga : Review Buku Peran Intelektual – Edward Said
Sementara itu, Yudi Latif lebih setuju kepada Ki Hadjar Dewantara, dan mungkin pula Emmanuel Kant yang menganggap bahwa perangkat bawaan berupa rasio yang dimiliki oleh manusia harus diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan karakter setiap peserta didik. Adapun pilar pembentuk karakter antara lain; fitrah, keturunan, pendidikan, lingkungan dan habit.( Allamah Muhammad Amin Zainuddin, Psikologi Akhlak; Risalah Akhlak Imam Ja’far Shania dari Kebaikan, Kebahagiaan Menuju Kesempurnaan. 2014, RausyanFikr Institute, hal 18.) Inilah yang kemudian jamak disebut sebagai pendidikan karakter. Di Indonesia sendiri, akar-akar pendidikan terbentuk oleh tradisi pendidikan di pesantren, lembaga pendidikan sekular bergaya Barat milik pemerintah Hindia-Belanda, hingga perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara yang berslogan; “di belakang memberi dorongan, di samping memberi semangat, di depan memberi contoh.”
Pendidikan Transformatif
Setiap pendidikan mestinya membawa perubahan, baik perubahan pemikiran, perkataan, tindakan, habit, karakter, hingga takdir peserta didik. Pendidikan yang tak membawa perubahan, bukanlah pendidikan sama sekali. Meskipun yang harus diklarifikasi lebih dulu adalah bahwa tidak semua perubahaan berarti kemajuan, kata Muthahhari. (Allamah Muhammad Amin Zainuddin, Psikologi Akhlak; Risalah Akhlak Imam Ja’far Shania dari Kebaikan, Kebahagiaan Menuju Kesempurnaan. 2014, RausyanFikr Institute, hal 18.) Karena terdapat pula perubahan ke arah yang lebih buruk dan ada pula perubahan ke arah yang lebih baik, tapi hanya pada hal-hal teknis dan permukaan belaka.
Baca juga : Review Buku Politik Pendidikan – Paulo Freire
Pendidikan transformatif merupakan visi pendidikan yang berbeda dengan visi pendidikan zaman baheula yang tidak membawa kita kemana-mana. Pendidikan transformatif berarti pendidikan yang membawa kesetaraan, kesejahteraan, kemajuan bangsa, persatuan, berkepribadian, dan ketertiban dunia. (Yudi Latif, hal 295.) Pendidikan transformatif juga bertumpu pada peran sang guru sebagai suri tauladan. Namun salah satu yang ciri khusus pada pendidikan transformatif adalah diterapkannya teknologi informasi demi akselerasi dan adaptasi di era disrupsi teknologi.
Pilar Pendidikan Transformatif
Pilar pertama dari pendidikan transformatif tentunya adalah kehadiran guru sebagai suri teladan bagi peserta didik. Namun, guru bukan sekadar berbicara di depan kelas atau memberikan contoh-contoh yang baik, melainkan menjadi contoh itu sendiri. Dalam Resensi Institute, posisi tersebut hanya dapat diraih oleh kaum terdidik ketika ia telah melewati proses dididik (berpikir dengan kritis, menyimak dengan aktif, membaca dengan produktif) dan mendidik (menulis dengan holistis, mengajar dengan kreatif). Kaum terdidik adalah mereka yang tindakannya menjadi sumber pendidikan itu sendiri.
Pilar kedua bagi terbentuknya pendidikan transformatif adalah visi-visi yang ada didalamnya, yaitu kesetaraan, kesejahteraan, kemajuan bangsa, persatuan, berkepribadian, dan ketertiban. Kesetaraan akan menciptakan keadilan sosial, kesejahteraan akan menciptakan keadilan ekonomi, kemajuan dan persatuan bangsa akan menciptakan keadilan internal, berkepribadian akan menciptakan keadilan budaya, dan ketertiban dunia akan menciptakan keadilan eksternal.
Baca juga : 10 Rekomendasi Komik Pendidikan Indonesia Terbaik Untuk Anak-Anak
Pilar ketiga dari pendidikan transformatif adalah lulusan-lulusan pendidikan yang bukan saja terserap di dunia kerja (paradigma industrial), cakap dalam suatu bidang tertentu (paradigma individual), maupun ahli dalam bidang empiris (paradigma materialis), melainkan mampu menjadi lulusan yang cerdas secara intelektual, sosial, spiritual, dan emosional. Inilah yang oleh Howard Gartner sebut sebagai kecerdasan ganda.
Dan pilar keempat dari pendidikan transformatif adalah tersedianya kebijakan (suprastuktur) dan sarana dan prasarana (infrastuktur) yang merata di seluruh daerah di Indonesia. Kehadiran guru yang berkualitas teladan, visi pendidikan yang holistis, cetakan sarjana yang terdidik, serta kebijakan dan Infrastuktur yang merata dan berkeadilan pada gilirannya akan mewujudkan pendidikan yang transformatif. Karena inti terdalam dari pendidikan adalah kemandirian, yaitu kemerdekaan untuk tidak bergantung pada siapapun, kecuali Allah Swt