Judul : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta Timur
Isi : 535 halaman
Tahun Terbit : 2011 cetakan ke-17
Rating : 4.8/5.0
“Hidup bisa memberi segala hal pada setiap orang yang tahu dan pandai menerima”
Era kolonialisme memberikan dampak bagi segala lapisan masyarakat Indonesia. Buku ini menggambarkan kehidupan masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20, dengan latar belakang kolonialisme Belanda yang menindas. Kisahnya berpusat pada hubungan tragis antara Minke, seorang pemuda Jawa yang terpelajar, dengan Annelies, seorang gadis Belanda yang berasal dari keluarga priyayi.
Bumi manusia, buku pertama dari “Tetralogi Pulau Buru”. Menceritakan perjalanan seorang anak manusia berdarah pribumi dengan seluk beluk Eropa, Minke. Kisah yang bermula dari dunia pendidikan di sekolah HBS, sekolah bagi kaum totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), atau si pribumi yang berkedudukan yang cukup tinggi. Minke tak pernah mengakui jaminan itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke, tanpa nama keluarga, seorang pribumi. Dulu nama marga dianggap suatu hal yang sangat penting bagi kaum Eropa.
Dalam ukuran kaum pribumi, Minke dapat dikatakan sebagai seorang yang sangat maju bahkan kemampuan membaca dan menulisnya dalam Bahasa Belanda melebihi orang Totok. Hingga suatu ketika bersama seorang teman ia menuju rumah mewah. Di sanalah tinggal seorang wanita pribumi, namun tutur kata, tingkah laku, dan kepandaian seperti wanita Eropa. Dialah Nyai Ontosoroh, seorang ‘Nyai’ yang dianggap rendah, gundik, wanita simpanan orang Eropa yang tidak dinikahi secara resmi.
Baca juga : 7 Rekomendasi Buku George Orwell yang Wajib Dibaca
Minke datang ke sana lalu berkenalan dengan anak gadis Nyai Ontosoroh, seorang gadis yang sangat cantik laiknya ratu. Kedatangan Minke mendapat dukungan dari Nyai Ontosoroh sebab Minke dirasa sebagai anak muda yang dapat dipercaya, akhirnya, Minke diminta untuk tinggal bersama mereka, hingga Minke jatuh cinta dan masuk menuju dunia pyloghinik sang ratu, Annelies Mellema. Di sisi lain, Annelies, ‘gadis bayi’ lemah dalam perihal cinta, bergantung dengan seseorang yang ia cintai mamun memiliki ketangguhan dalam bekerja.
Di dunia pendidikannya, Minke dididik dengan cara berpikir orang modern yang paham akan kesetaraan sosial. Ia menentang perbudakan yang dilakukan oleh orang-orang sekitarnya. Ia menyuarakan ketidakpuasan atas permasalahan tersebut dengan menulis di surat kabar berbahasa belanda dengan menggunakan nama samaran, Max Tollenar. Akibat dari tulisan itu juga disebutkan Pram yang mana, sebuah tulisan dapat melahirkan kerusuhan.
Di sisi lain, digambarkan sosok Annelies Mellema, Annelies, gadis bayi mamun memiliki ketangguhan dalam bekerja, lemah dalam perihal cinta, bergantung dengan seseorang yang ia cintai.
Perjuangan luar biasa dilakukan Minke untuk mendapatkan Annelies, banyak rintangan tapi berhasil ditakhlukkan, bersama guru pribadi, Nyai Ontosoroh yang mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Suatu ketika surat dari Pengadilan Putih membawa sang isteri menuju negeri jauh, entah sampai kapan atau bahkan selamanya.
Tiap peristiwa disampaikan melalui deskripsi tetapi ada beberapa yang dijelaskan secara langsung dari sang tokoh. Banyak tokoh-tokoh yang terlibat, pembaca harus memahami masing-masing karakter tokoh, nama-nama yang hampir mirip sehingga rawan kesalahpahaman.
Pramoedya menggambarkan dengan sangat halus dan penuh emosi bagaimana perjuangan Minke untuk mencari identitas dan martabatnya dalam masyarakat yang dipenuhi dengan penindasan rasial dan budaya. Dia juga menyoroti ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang melanda masyarakat kolonial Hindia Belanda.
Novel ini juga telah diangkat ke layar lebar, ini sebagai bukti bahwa karya ini layak dibaca semua kalangan masyarakat. Sebab banyak hal yang dipelajari dari buku ini, kepribadian bangsa berkulit putih, sebuah perjuangan, banyak kisah sejarah, layak dibaca semua kalangan, perjuangan yang tidak kenal lelah, melawanlah meski melalui lisan.
Baca juga : 7 Rekomendasi Buku Sejarah Dunia Terbaik
Novel ini ditulis saat Pramoedya Ananta Toer masih berada di Pulau Buru sekitar tahun 1975. Cerita ini berlatar Wonokromo, Surabaya, dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Menggambarkan keadaan Indonesia di akhir 1800 hingga awal 1900 yang oleh sejarah kita tercatat sebagai masa awal Kebangkitan Nasional.
Salah satu kekuatan utama novel ini adalah kemampuan Pramoedya dalam mengeksplorasi kompleksitas karakter-karakternya. Minke digambarkan sebagai seorang pemuda yang idealis, berani, dan penuh semangat, namun juga rentan terhadap perasaan cinta dan rasa tidak pasti akan masa depannya di tengah ketidakadilan kolonial. Sementara Annelies, meskipun lahir dalam privilese, juga mengalami pertentangan batin antara kecintaannya pada Minke dengan kewajibannya sebagai bagian dari keluarga priyayi yang memegang teguh norma-norma sosial.
Tiap peristiwa disampaikan melalui deskripsi, tetapi ada beberapa yang dijelaskan secara langsung dari sang tokoh. Banyak tokoh-tokoh yang terlibat, pembaca harus memahami masing-masing karakter tokoh, nama-nama yang hampir mirip sehingga rawan kesalahpahaman. Bahasa yang sederhana namun tidak membosankan serta alur yang digunakan mampu membuat pembaca untuk mengikuti jalan cerita.
Alur yang digunakan mampu membuat pembaca untuk mengikuti jalan cerita. Banyak hal yang dipelajari dari buku ini, kepribadian bangsa berkulit putih, sebuah perjuangan, banyak kisah sejarah, layak dibaca semua kalangan, perjuangan yang tidak kenal lelah, melawanlah meski melalui lisan.
Baca juga : Rekomendasi Buku Tentang Sejarah Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan
Karya ini tidak hanya memikat pembaca dengan narasi yang kuat dan karakter yang kompleks, tetapi juga memberikan wawasan yang dalam tentang sejarah Indonesia pada masa kolonial. Bumi Manusia bukan hanya sekadar sebuah novel, tetapi juga sebuah karya sastra yang membawa pesan-pesan kritis tentang identitas, keadilan, dan perlawanan terhadap penindasan.
Dengan prosa yang mendalam dan puitis, Pramoedya membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang penuh dengan konflik internal dan eksternal, serta menampilkan kekuatan dan kelemahan manusia dalam menghadapi tekanan politik dan budaya yang kuat. Bumi Manusia tidak hanya sebuah kisah cinta yang menyayat hati, tetapi juga sebuah penggambaran yang mengharukan tentang perjuangan individu melawan ketidakadilan sistemik.