Fiksi, Resensi, Review

Menggugat Keadilan dalam Buku Tragedi Pedang Keadilan

Buku terbaru Keigo Higashino berjudul Tragedi Pedang Keadilan seolah menggugat keadilan dalam pemberian hukuman pidana untuk anak di bawah umur. Buku ini...

Written by Nazilatur Riskiyah · 3 min read >
Judul 		: Tragedi Pedang Keadilan
Penulis         : Keigo Higashino 
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tahun Terbit    : 2024
Jumlah Halaman  : 462 
Rating          : 4.8/5.0

Sejak istrinya meninggal, Nagamine Shigeki hidup hanya berdua dengan putrinya, Ema. Suatu malam, Ema pergi menonton festival musim panas. Tetapi ia tidak pernah pulang sampai mayatnya ditemukan di sungai. 

Dalam hari-hari kelam menunggu proses penyelidikan, Nagamine menerima telepon dari seseorang yang memberikan informasi tentang para pelaku dan lokasi pembunuhan Ema. Nagamine menyusup ke apartemen yang disebut. Disana ia menemukan kaset video berisi rekaman peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan putrinya. 

Semakin terpuruk dalam duka dan kini diselimuti amarah, ditambah keyakinan bahwa para pelaku hanya akan dihukum ringan karena masih di bawah umur, Nagamine memutuskan mengadili mereka dengan tangannya sendiri. Apakah Nagamine akan berhasil? Kepada siapakah hukum akan memihak?

Buku terbaru Keigo Higashino berjudul Tragedi Pedang Keadilan seolah menggugat keadilan dalam pemberian hukuman pidana untuk anak di bawah umur. Buku ini bercerita tentang orang tua tunggal bernama Nagamine Shigeki yang hidup berdua bersama putrinya, Nagamine Ema, setelah istrinya meninggal. Ema tidak pulang lagi setelah pamit menonton pesta kembang api dan beberapa hari setelahnya dia ditemukan mengambang di sungai dalam keadaan tak bernyawa. Nagamine merasa hidupnya hancur setelah satu-satunya harta berharganya direnggut paksa. Belakangan dia mengetahui bahwa putrinya tewas setelah diperkosa. Suatu hari dia menerima telepon misterius yang memberinya informasi siapa nama dua pemuda yang memperkosa Ema, dimana mereka tinggal dan bagaimana cara masuk ke dalam apartemen salah satunya. Dalam kegamangan Nagamine menyusup ke dalam apartemen yang dimaksud dan menemukan kaset video berisi rekaman perilaku bejat dua pemuda tersebut kepada putrinya. Nagamine yang tengah murka mendapati salah satu pemuda dalam video tersebut pulang ke apartemen dan tanpa bisa dikontrol dia telah menusuk pemuda tersebut berulang kali. 

Baca juga : 7 Novel Detektif Terbaik Sepanjang Masa

Tragedi Pedang Keadilan adalah buku Keigo Higashino yang paling bikin aku ngeri. Trigger warningnya paling banyak. Rape, violent, blood, revenge. Adegan pemerkosaan yang keji bikin aku mual dan harus menghela nafas. Beberapa kali harus berhenti sejenak karena tidak tahan dengan perilaku barbar pemuda-pemuda setan ini. Kenapa sih pemuda-pemuda di buku ini bikin naik darah semua? Kasus pemuda-pemuda yang membunuh temannya dengan cara dibakar dan ditendangi hanya gara-gara korban tidak mau meminjamkan game. Juga perilaku bejat Sugano kaiji dan Tomozaki Atsuya terhadap gadis-gadis yang menjadi korban kebuasan mereka. Pendidikan dan pergaulan macam apa yang mereka jalani? Apalagi perilaku bejat Kaiji dan Atsuya ini sudah berulang kali mereka lakukan. Sudah banyak gadis yang menjadi korban. Sayangnya, tidak ada korban yang berani melaporkan kejahatan mereka karena pelaku mengancam akan menyebarkan video mesum mereka. Jahat banget kan?

Tokoh-tokoh di buku ini cukup banyak. Ada Nakai Makoto, teman Kaiji dan Atsuya, yang dipaksa membantu kejahatan yang mereka lakukan. Juga orang tua remaja-remaja ini, yang menjawab “tidak tahu” saat ditanya polisi tentang apa kegiatan anaknya sehari-hari, tapi saat dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya melakukan tindak kejahatan, para ibu ini begitu gigih mempertahankan pendapat mereka bahwa anaknya tidak salah. Seperti pendapat ibu Atsuya, “Dia takkan pernah melakukan hal seperti itu. Sebenarnya dia anak baik, tapi terjerumus gara-gara pengaruh buruk teman-temannya. Pada dasarnya dia berhati lembut. Yang jahat anak bernama Sugano itu. Padahal Atsuya sudah berusaha kembali ke jalan yang benar, tapi Sugano selalu menghalangi.” (halaman 122) Ibu Atsuya bikin geleng-geleng kepala ya, aku nggak habis pikir sama pemikirannya. Kenapa masih denial? Takut dianggap tidak becus mendidik anak? Dan karena buku ini tentang fiksi kriminal maka ada banyak tokoh berprofesi sebagai polisi yang turut membangun cerita di buku ini. Salah satunya Oribe, Mano, dan Hisatsuka sang ketua tim. Juga ada wartawan bernama Odagiri yang menurutku dia sedang memancing di air keruh. Ada bab yang membuat aku bingung saat penulis tiba-tiba menceritakan tentang Wakako, dimana tokoh ini sebelumnya tidak dibahas. Mungkin itu cara penulis menjelaskan latar belakang Wakako yang kemudian memegang peranan cukup penting dalam membangun cerita, terutama di bagian ending. 

Menggunakan sudut pandang orang ketiga membuat buku ini bisa menyuarakan pikiran hampir semua tokoh. Alurnya menggunakan alur maju dan sesekali flashback membuat buku ini mudah diikuti dan menyimpan kejutan-kejutan hampir di semua babnya. Latar tempatnya bisa aku bayangkan dengan mudah meski tidak dideskripsikan dengan detail. Tema pembahasan di buku ini bikin aku makin aware dengan pola asuh dan pergaulan anak. 

Baca juga : 7 Novel Psikologi Thriller yang Wajib Dibaca Penggemar Genre Thriller

Berbeda dengan buku bertema thriller lainnya, di buku ini sudah jelas siapa pelakunya. Yang menjadi topik utama pembahasan buku ini adalah aksi balas dendam keluarga korban, pengejaran polisi terhadap tersangka, juga penulis yang menggugat lemahnya hukum pidana anak di bawah umur.  Aku bisa menebak kenapa judul buku ini Tragedi Pedang Keadilan. Karena hukum begitu lemah saat berhubungan dengan pidana anak di bawah umur. Hukuman tindak pidana anak di bawah umur terbilang ringan: rehabilitasi yang cukup singkat, nama dan foto pelaku tidak dicantumkan dalam berita, dan bisa kembali ke masyarakat tanpa sanksi sosial. Sementara keluarga korban menanggung kehilangan yang mendalam. 

Hukum pidana anak memang hadir untuk korban, tetapi bukan untuk mencegah tindak kejahatan. Karena hukum itu dibuat berdasarkan tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak di bawah umur, keberadaannya justru menyelamatkan mereka. Tidak adanya refleksi kesedihan serta kegeraman pihak korban dan pengabaian akan kondisi sebenarnya membuat hukum itu tidak lebih daripada pedoman moral penuh kepalsuan. (halaman76) 

Meski merehabilitasi anak muda yang terjerumus ke jalan salah adalah sesuatu yang penting, siapa yang akan menyembuhkan luka hati korban kejahatan mereka? Tidakkah semua usaha demi memikirkan masa depan para pelaku kejahatan justru terlalu kejam bagi orang tua yang jiwa anaknya direnggut oleh si pelaku? (halaman 321)

Baca juga : Resensi ‘Yellowface’, sebuah Satir tentang Perampasan Kekayaan Intelektual dalam Dunia Penerbitan

Bahkan kegamangan para polisi juga diceritakan di buku ini, terlebih di bagian klimaks saat Oribe melakukan pengejaran terhadap Kaiji dan Nagamine. Apakah buku ini seru? Buatku seru banget. Awalnya aku ingin memberi rating 5/5 karena berhasil mengaduk-aduk emosiku, tetapi karena ada detail-detail kecil yang luput dijelaskan, akhirnya aku memberi rating 4,8/5. Biasanya setiap detail kecil  yang ditulis Keigo Higashino selalu menyimpan maksud tertentu. Tetapi di buku ini ada yang terlewat. Seperti nasib Kaiji dan Makoto pasca kejadian di stasiun, juga penyebab pasti meninggalnya Nagamine Ema. Overall, aku suka buku ini meski sepanjang membaca aku dibuat ngeri sama tingkah remaja-remaja di buku ini. Tertarik baca juga? 

Written by Nazilatur Riskiyah
Saat ini aktif mereview buku di instagram dengan nama akun @nazila.rizqi sejak 2018. Ibu dua anak yang suka membagikan keseruan membaca dan menyebarkan virus membaca kepada anak-anaknya. Profile

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *